Headline
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.
DENTUMAN cukup keras mewarnai ekspedisi penyelaman di kawasan perairan Cempedak, Sulawesi Tenggara (Sultra), beberapa waktu lalu. Dentuman hingga tujuh kali dalam kurun 1 jam itu bukan pertanda baik.
Tim ekspedisi yang terdiri atas WWF Indonesia dan Yayasan Reef Check Indonesia telah mengetahui praktik buruk pengeboman untuk menangkap ikan masih jadi hal jamak di wilayah itu. Namun, hal yang lebih memprihatinkan justru ditemukan ketika mereka naik ke permukaan.
Tim yang bertugas meneliti kesehatan terumbu karang itu melihat perahu berisi lima bocah. Tim memang tidak dapat memastikan bom berasal dari bocah-bocah itu. Namun, telah banyak informasi mengenai kaderisasi anak-anak untuk terlibat dalam pengeboman ikan di wilayah itu.
Kondisi yang ditemukan tim yang dibentuk berdasarkan perjanjian kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Universitas Halu Oleo serta dibantu mitra dan peneliti dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, Balai Taman Nasional Wakatobi, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL), Universitas Muhammadiyah Kendari, serta Yayasan Bahari, itu semakin menunjukkan besarnya ancaman kelestarian sumber daya perikanan di sana.
Sebelum ekspedisi, Staf Seksi Konservasi dan Rehabilitasi DKP Provinsi Sultra, Anung Wijaya, menemukan tempat lain yang masih menjadi sasaran bahan peledak, yaitu Pulau Hari. Padahal, jarak antara tempat tersebut dan pusat kota Kendari hanya berkisar kurang dari 4 mil atau 4,6 kilometer.
Di pusat kota Kendari sebenarnya terdapat banyak instansi yang berkaitan dengan aktivitas penjagaan perairan, seperti Polair, Angkatan Laut, serta DKP Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun, pengebom dengan lihai menyembunyikan kegiatan ilegal itu dengan berpura-pura memancing.
“Ada beberapa tempat dengan kondisi karang baik, tetapi kelimpahan ikan kurang, tapi ada juga kondisi karang buruk, kelimpahan ikan cukup besar. Karena itu, kami merekomendasikan untuk membentuk kelompok jejaring antara Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Provinsi Sultra, Taman Wisata Alam Laut Teluk Lasolo, dan Pulau Wawonii (lokasi kontrol) supaya bisa menyinergikan kegiatan dan upaya perlindungan sehingga tercipta kesehatan perairan,” kata Anung saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (21/12). Lokasi kontrol berfungsi sebagai pembanding kondisi perairan di dalam dan luar konservasi.
KKPD Provinsi Sultra meliputi tiga kabupaten/kota, Konawe Selatan, Kendari, dan Kabupaten Konawe. Ego sektoral, imbuh Anung, harus dikesampingkan. Apalagi, dari hasil ekspedisi yang dilakukan selama 15 hari, ketiga kawasan jejaring itu memiliki keterkaitan ekologis.
Sosialisasi untuk penggunaan alat tangkap ramah lingkungan sudah sering dilakukan. Namun, faktor ekonomi masih menjadi alasan, butuh tangkapan yang banyak dalam waktu yang singkat. Karena itu, perlu dicari solusi yang lebih jitu, bukan melulu memberikan bantuan, melainkan pemberdayaan keterampilan masyarakat pesisir.
Wilayah perairan mencapai 75% atau 114.879 kilometer persegi dari total wilayah Sultra. Saat ini status KKPD Provinsi Sultra telah memasuki tahap penyusunan dokumen rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi. Anung berharap pada 2017 sudah mendapat surat penetapan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Total kawasan konservasi yang kami cadangkan, sekitar 350 ribu hektare,” pungkasnya.
Bintang laut mahkota berduri
Kerusakan lingkungan perairan tidak hanya disebabkan kegiatan di wilayah tersebut, tetapi juga berbagai kegiatan di darat, terutama penambangan di daerah pesisir. Sisa hasil tambang akan terbawa air dan menjadi sedimen yang bisa menutup terumbu karang serta biota laut lainnya. Di beberapa lokasi lain, ditemukan ancaman perkembangbiakan bintang laut mahkota berduri (COTS/crown-of-thorns starfish) yang tidak terkendali.
Project Leader Southern Eastern Sulawesi Subseascape WWF Indonesia, Sugiyanto mengatakan membludaknya COTS itu bisa membuat banyak terumbu karang mati. COTS menempel pada polip karang. Padahal, beberapa jenis terumbu karang memiliki pertumbuhan yang sangat lambat.
“Dikatakan normal jika seseorang menyelam dalam kurun waktu 1 jam menemukan dua atau tiga binatang tersebut. Kalau terlihat menumpuk pada terumbu karang, itu yang harus diberi perhatian,” ujar Sugi. Jika terumbu karang mati, sistem rantai makanan dan keseimbangan lingkungan pun terganggu. Cara terbaik untuk menyingkirkan COTS ialah membuat penjepit dari bambu.
Satu bagian penjepit ditempatkan di tubuh COTS yang melekat pada terumbu karang dan bagian lainnya menjepit tubuh bagian atas. COTS kemudian dimasukkan ke karung untuk dikubur di daratan.
“Meskipun ancamannya tinggi, ekosistem di Perairan Sulawesi Tenggara masih memiliki kemampuan untuk pulih kembali. Salah satunya dilihat dari masih banyak ditemui hewan dan tumbuhan yang dilindungi, seperti penyu sisik, penyu belimbing, bambu laut, paus, dan lumba-lumba,” tuturnya. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved