Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
RAKHINE, provinsi di Myanmar yang menjadi tempat tinggal Muslim Rohingya, masih bergejolak dan menjadi perhatian dunia.
Sejak serangan ke pos perbatasan polisi di utara Myanmar dituduhkan kepada militan setempat, pasukan militer dan polisi bersenjata lengkap diterjunkan dan berpatroli sepanjang hari di kawasan itu.
Namun, bukan hanya berpatroli, pasukan militer ditengarai membakar rumah warga Rohingya, memerkosa wanita, dan menindas warga muslim setempat.
Bahkan mereka menutup akses media untuk meliput dan bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan.
Akibatnya, warga muslim Rohingya, terutama orang tua dan anak-anak, berada dalam kondisi memprihatinkan. Mereka kelaparan, kedinginan, dan sangat ketakutan.
Begitulah yang ramai dibertakan sejumlah media internasional. Cerita yang kurang lebih sama juga dituturkan dua relawan asal Indonesia yang tergabung dalam Lembaga Kemanusiaan Nasional Indonesia, PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat), Eko Sulistyo beserta rekannya M Kaimuddin yang berhasil sampai sana.
Menurut penuturan Eko, pembakaran terhadap rumah warga Rohingya, benar terjadi.
"Warga Rohingya di sana kelaparan dan ketakutan apalagi terhadap orang asing. Saat kami datang mereka takut tapi setelah tahu kami mau beri bantuan mereka langsung mengerubungi kami," tutur Eko kepada Media Indonesia, Selasa (29/11).
"Setelah menerima bantuan, ada juga yang curhat (curahan hati) pakai bahasa dia. Meskipun enggak ngerti dari raut wajah kan kelihatan. Mereka menangis," jelasnya.
Menurut Eko, perjalanan ke Rakhine tidaklah mudah. Dia dan rekannya bahkan sempat menyamar untuk menyalurkan bantuan.
"Rabu (23/11) kami tiba di Yangon. Namun di sana mitra-mitra lokal langsung menyerah untuk mengantar kami menuju Rakhine State. Terlihat juga 4 orang dari lembaga kemanusiaan Indonesia yang datang tapi mereka takut ke sana," ungkap Eko .
Lalu mereka berkoordinasi dengan KBRI Yangon untuk dapat masuk Rakhine dengan alasan melihat dua proyek sekolah di sana. Sambil menyelam minum air menurut Eko.
"Karena kondisi etnis Rohingya terutama semenjak konflik di Maungdaw belum pernah dapat bantuan," lanjutnya.
Akhirnya pada Jumat (25/11), Eko dan rekan berhasil menuju ke markas militer Sittwey, Rakhine karena situasi diakui agak longgar.
Dua sekolah yang dijadikan tameng itu bersebelahan dengan markas militer dan sudah terbangun 100%, tinggal menunggu furnitur.
Di sana Eko dan pejabat Rakhine bernegosiasi cara-cara menyalurkan bantuan yang telah dibawa yakni 3,5 ton beras, sekitar 160 pakaian anak-anak dan orang tua, dan sekitar 300 kain untuk selimut atau hijab.
Bantuan yang disalurkan lewat jalan-jalan tikus itu hanya cukup untuk 166 kepala keluarga di kamp pengungsian Kya Pin, Sittwey.
"Agak menyamar juga masuk situ karena hanya ada satu pintu untuk masuk dan keluar di pesisir pantai dan dijaga barikade militer. Kami sempat pakai baju biasa dan sarung seperti warga di sana," imbuh Eko.
Relawan yang berencana tinggal 7-10 hari di sana itu juga mengatakan pembakaran rumah-rumah warga Rohingya memang terjadi.
Eko berencana bantuan terus menyalurkan bantuan selama dia dan rekan berada di sana.
"Kami wait and see juga ya, kalau sekarang kan lagi merah (situasi panas)," sahutnya.
Tindakan kemanusiaan itu diharapkan dapat diketahui masyarakat dunia, khususnya Indonesia dan mendorong adanya penyaluran bantuan lebih banyak lagi serta menekan pemerintah Myanmar untuk mengizinkan penyaluran bantuan yang leluasa dari dunia. OL-2
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved