Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Pemulihan Poso Butuh Waktu Lama

(TB/N-3)
28/9/2016 01:15
Pemulihan Poso Butuh Waktu Lama
(MI/TAUFAN SP BUSTAN)

PEMULIHAN Poso agar menjadi wilayah yang damai dan aman membutuhkan waktu cukup lama. Pascakonflik, penataan Poso tidak semata-mata dilakukan pada masalah keamanan, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, hukum, dan perdata.
Pemerintah pun tetap menjaga kondisi di Poso secara ketat. Mobilisasi pasukan bawah kendali operasi (BKO) secara silih berganti pun dilakukan sampai sekarang. Direktur Celebes Institute, Adriany Badrah, mengatakan pemulihan kondisi Poso berada di antara optimisme dan pesimisme. Menurutnya, masyarakat Poso cenderung pesimistis dengan apa pun yang dilakukan pemerintah untuk menangani wilayah itu. "Alasannya, pemerintah tidak dapat memutus mata rantai kekerasan dan teror pascakonflik," kata Adriany. Dia memaparkan, perjalanan panjang penanganan Poso telah dilakukan pemerintah sejak 2005. Namun, eskalasi kekerasan terus meningkat. Pada saat itu, penembakan, pengeboman, dan pembunuhan terus terjadi dan misterius. Aparat keamanan tidak dapat mengungkap motif dan pelakunya. Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden No 14 Tahun 2005 untuk menangani Poso. Pemerintah melakukan operasi penangkapan pelaku kekerasan dan teror, termasuk mereka yang masuk daftar pencarian orang. "Ironisnya, pada operasi itu, banyak perlakuan aparat dalam menangkap pelaku teror sudah melanggar HAM. Akhirnya yang tersisa dari operasi itu ialah dampak psikologis. Keluarga korban pada akhirnya trauma dan menyisakan rasa dendam," ungkapnya.

Pola-pola yang dilakukan aparat sejak 2007 masih berlangsung hingga sekarang. Akibatnya, bibit-bibit dendam terus bertumbuh. Lahirlah nama-nama baru sebagai ikon yang melawan aparat pascaterbunuhnya Daeng Koro alias Sabagar Subagio dan Santoso alias Abu Wardah. Mereka ialah Basri alias Bagong dan Ali Kalora. "Operasi-operasi keamanan justru melahirkan persoalan-persoalan baru. Pemerintah akan kesulitan memutus mata rantai kekerasan dan teror jika konsep serta metode penanganan untuk Poso tidak tepat," ujar mantan aktivis Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah, yang cukup lama bergelut di Poso. Kritikan serupa datang dari Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulawesi Tengah, Moh Affandi. Dia menyoroti operasi Camar, Maleo, hingga Tinombala yang dilakukan tim gabungan TNI-Polri yang justru menimbulkan rasa cemas, khawatir, takut, dan saling curiga. "Penyelesaian Poso tanpa harus dengan perang represif serta mobilisasi pasukan secara besar-besaran," ujar Affandi.
Selain itu, operasi keamanan memiliki konsekuensi di sektor pembiayaan. "Dari mana saja sumber anggaran serta berapa besar nominal untuk membiayai operasi keamanan mulai operasi Camar Maleo dan Tinombala yang masih berlangsung saat ini," kata Affandi. Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Rudy Sufahriadi, menanggapi pernyataan kedua aktivis. Ia mengatakan operasi digelar untuk memberikan rasa aman kepada seluruh masyarakat Poso. "Bukan hanya yang ada di kota, melainkan di pesisir, termasuk operasi digelar selama ini untuk menghapus rangkaian teror yang sering terjadi di Poso, bahkan Sulawesi Tengah pada umumnya," kata Rudy. (TB/N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya