Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
PARA turis dari berbagai negara bergairah menjepretkan kamera di tangan mereka. Dengan berpindah-pindah lokasi, mereka mengabadikan tujuh rumah adat di Wae Rebo dari berbagai sudut.
"Sangat unik dan sudah jarang kami temukan. Lelah karena perjalanan panjang menuju tempat ini langsung hilang, karena disuguhi pemandangan yang sudah jarang kami lihat," papar Stefi Richard Muler, arsitek asal Jerman, yang berada di dalam rombongan.
Ada 114 turis asal berbagai negara yang Sabtu, pekan lalu, datang ke Kampung Wae Rebo, di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Di Wae Rebo, terdapat rumah adat yang sudah berusia lebih dari 2 abad dipelihara dengan baik dan masih bertahan hingga kini.
Berbentuk mirip piramida, rumah adat Wae Rebo itu terbuat dari ijuk pohon enau atau palem.
Di dalamnya, ada tiang induk sebagai penyangga.
Berbentuk panggung, kerangka rumah adat itu menyerupai jaring laba-laba, dengan atap bawahnya nyaris menyentuh tanah.
"Rumah ini dibuat nenek moyang kami dengan tujuan menghindari cuaca ekstrem berupa hawa dingin yang melingkupi daerah ini. Selain itu, bentuk ini dipilih supaya warga aman dari ancaman musuh," papar Fransiskus Jeman, 53, wakil ketua adat Desa Satar Lenda.
Wae Rebo berarti menabur, menanam, dan menyiram benih.
Kampung itu berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, sehingga sering disebut Kampung di Atas Awan.
Para turis yang datang juga memberi julukan baru, 'mutiara piramida di langit biru'.
Jumlah rumah adat yang dipertahankan hanya tujuh buah. Rumah kepala adat disebut gendang.
Para wisatawan, sering kali diterima di rumah lain yang dinamai Mbaru Niang.
Pada 2012, rumah itu mendapat Award of Excellence, sebuah penghargaan tertinggi dalam UNESCO Asia-Pasifc Award for Cultural Heritage Conservation.
Hidup rukun
"Satu rumah adat di Wae Rebo ditinggali bersama oleh delapan kepala keluarga. Kami hidup rukun, makan pagi dan malam bersama. Pada siang hari semua sibuk ke kebun," lanjut Jeman.
Saat penghuni rumah sudah beranak pinak, sehingga jumlah kepala keluarga bertambah, keluarga baru harus pindah ke Kampung Kombo, yang berjarak sekitar 5 km dari Wae Rebo.
Tidak hanya rumah adat yang dijual Wae Rebo.
Warga kampung itu juga sering menggelar sejumlah ritus, mulai dari penyembelihan hewan kurban hingga syukuran adat untuk leluhur.
Sebagai buah tangan, warga Wae Rebo juga menyediakan kopi arabika hasil kebun mereka, juga kain cura, kain tenun yang dibuat kaum perempuan kampung itu.
Sayangnya, bukan perkara mudah datang ke Wae Rebo.
Dari Labuan Bajo, pengunjung harus melakukan perjalanan panjang ke Ruteng dan lanjut ke Desa Denge, desa terakhir.
Setelah itu, perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, selama 4 jam, dengan kontur lahan menanjak dan curam.
"Kesulitan menuju ke sini tidak menghalangi orang untuk datang. Terbukti, selama 2016 sudah ada 5.457 turis ada 19 negara dan 2.247 wisawatan dalam negeri yang datang ke sini," ujar Fransiskus Jeman.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved