Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Ritual Darah Ayam untuk Kebenaran

Palce Amalo
07/9/2016 09:20
Ritual Darah Ayam untuk Kebenaran
(Puluhan warga bersama tokoh adat menggelar ritual Darah Ayam di Bukit Bijaelsunan, Desa Manusasi, Miomafo Barat, Timor Tengah Utara, NTT---MI/Palce Amalo)

FERDI Fai dengan muka serius memotong kepala ayam hidup di depan puluhan warga dan tokoh adat Desa Manusasi, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Senin (5/9).

Darah segar tampak memuncrat. Kepala adat dari Desa Manusasi itu kemudian meneteskan darah ayam tersebut ke sebuah tugu batu menyerupai kepala kerbau milik suku Valia Anunmut di Bukit Bijaelsunan. Lokasi itu masuk lahan sengketa antara Indonesia dan Timor Leste.

Ritual itu sebagai media untuk berkomunikasi kepada arwah leluhur mengenai sengketa lahan seluas 200 hektare, antara warga Moimafo Barat, NTT, dan warga Ambenu, Timor Leste, yang sebetulnya masih memiliki hubungan saudara.

Sebelum pemotongan ayam, Ferdi Fai melafalkan syair-syair dalam bahasa daerah setempat. Upacara pemotongan kepala ayam dilanjutkan dengan pemotongan sapi. Warga kemudian memasak kepala sapi untuk dimakan bersama.

"Inti upacara ini, mereka menyampaikan kepada leluhur bahwa akan ada pembicaraan sengketa lahan antara saudara bersaudara," kata peneliti budaya dari Universitas Cendana Kupang Primus Lake saat ditemui di sela-sela upacara arwah.

Ritual diikuti utusan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, serta pejabat dan staf Badan Pengelola Perbatasan NTT, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara, serta peneliti dari Universitas Jember dan Undana. Hadir juga Raja Liurai Wehali Malaka Dominikus Kloit Tey Seran.

Di Bukit Bijaelsunan terdapat dua pilar yang masing-masing menandai batas wilayah Miomafo-Ambenu. Setelah Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia pada 1999, otomatis dua pilar itu menjadi batas wilayah Indonesia-Timor Leste.

Jika penentuan batas wilayah menggunakan pilar pertama yang ditanam pemerintah Indonesia pada 1966, lahan sengketa seluas 200 hektare itu milik Indonesia. Sebaliknya jika patokan itu menggunakan pilar kedua yang dibangun penjajah Portugis dan Belanda pada 1915, wilayah itu masuk Timor Leste. "Sesuai bukti sejarah, pilar sesungguhnya yang ditanam pada 1966," tegas Ferdi Fai.

Menurutnya, masyarakat Desa Manusasi menolak penentuan batas wilayah berpatokan pada pilar yang dibangun pada 1915 itu. "Untuk menunjukkan kebenaran itu, kami mengadakan ritual adat. Kami serius menghadapi masalah sengketa lahan ini," ujarnya.

Staf Kementerian Luar Negeri Elvis Napitupulu yang mengikuti ritual tersebut mengatakan pihaknya masih mengumpulkan bukti dan keterangan dari warga, sebelum persoalan tersebut dibawa ke perundingan dua negara.(N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya