Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Mengenal Lahan Basah lewat Peta Interaktif

(Wnd/M-3)
03/9/2016 03:30
Mengenal Lahan Basah lewat Peta Interaktif
(DOK. PUSAT PENELITIAN KEHUTANAN INTERNASIONAL (CIFOR))

DI situs daring itu, peta dunia terpampang. Rona hijau dan biru tersebar di berbagai negara. Sebagian negara seperti Indonesia, memiliki rona hijau dan biru yang cukup luas. Rona tersebut menandakan estimasi sebaran lahan basah dengan 8 klasifikasi wilayah, di antaranya mangrove, rawa, dan sungai. Dengan resolusi spasial hingga 236 meter, sebaran klasifikasi wilayah itu cukup terlihat jelas. Pada peta itu juga terdapat beberapa titik merah meski dapat dihitung dengan jari. Saat disorot, dari titik tersebut muncul keterangan jumlah karbon yang tersimpan di wilayah itu. Contoh simpanan karbon ialah di Rawa Gambut Merang, Sumatra Selatan, yang disebutkan sebesar 127,97 MgC/ha.

Peta informatif bernama Global Wetlands itu dibuat Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Cifor) dan baru pertengahan bulan lalu diluncurkan. Peta yang dapat diakses melalui situs http://www.cifor.org/global-wetlands/ itu merupakan bagian dari Program Adaptasi dan Mitigasi Lahan Basah Berkelanjutan (SWAMP), hasil kolaborasi Cifor dengan Departemen Kehutanan Amerika Serikat yang didukung USAID. Tidak hanya menampilkan sebaran lahan basah, peta itu juga menyediakan data histosol, yaitu tanah organik dengan kadar karbon hingga 20% dan beberapa titik pengamatan cadangan karbon. “Belum ada data pasti luas lahan basah, khususnya wilayah tropis. Namun, orang bisa menduga cadangan karbon pada suatu ekosistem untuk tindakan mitigasi. Bisa juga menjadi acuan untuk restorasi lahan basah yang terdegradasi melalui peta ini,” kata ilmuwan Cifor dan peneliti utama SWAMP, Daniel Murdiyarso, Selasa(30/8), saat menjelaskan beberapa tujuan peluncuran peta itu.

Bentuk peta yang interaktif sengaja dibuat agar akurasi peta dapat terus disempurnakan. Untuk dapat melakukan verifikasi serta membantu penyempurnaan berdasarkan hasil penelitian di lapangan, pengguna harus mendaftarkan diri dengan mengisi formulir daring. Namun, penjelajahan peta secara umum dapat dilakukan langsung tanpa pendaftaran. Di sisi lain, jelas Daniel, kelestarian lahan basah jelas tidak bisa hanya dengan menyebarkan data. Pemahaman ekologis masyarakat di sekitar ekosistem tersebut harus ditingkatkan. Terlebih, keberadaan lahan basah sangat dipengaruhi intervensi manusia. “Ekosistem mangrove dan rawa gambut mengalami tekanan besar dari kegiatan ekonomi melalui konversi lahan dalam jumlah dan laju yang sangat besar. Sementara itu, potensi lahan basah dalam memitigasi perubahan iklim sudah diakui secara luas, pun dengan jasa lingkungan yang diberikan sama pentingnya bagi adaptasi perubahan iklim,” tukas Daniel.

Acuan Konvensi Ramsar
Keberadaan peta interaktif lahan basah tersebut diapresiasi Direktur Wetlands International Indonesia, I Nyoman Suryadiputra. Namun, ­Nyoman juga menekankan penting­nya kesesuaian klasifikasi lahan basah yang ditampilkan di peta dengan yang terdapat pada Konvensi Ramsar. “Sudah pasti (peta interaktif) membantu penelitian ataupun pembuatan rencana strategi asalkan memang jelas apa saja ekosistem lahan basah yang termuat di dalamnya,” tutur Nyoman, Rabu (31/8). Konvensi Ramsar diresmikan pada 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran, dan berlaku secara formal sejak 1975. Indonesia meratifikasi Konvensi Ramsar pada 1991.

“Lahan basah itu mencakup yang alami juga buatan, bahkan sawah pun juga termasuk kategori lahan basah. Ada tujuh situs yang berstatus dilindungi, masuk kawasan konservasi. Itu menjadi salah satu penahan dari semakin menurunnya fungsi lahan basah,” imbuh Nyoman. Tujuh unit kawasan lahan basah yang telah didaftar sebagai situs Ramsar ialah Taman Nasional (TN) Berbak (Jambi), TN Sembilang (Sumatra Selatan), TN Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), TN Danau Sentarum (Kalimantan ­Barat), TN Wasur (Papua), TN Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Jakarta). Namun, Nyoman mengakui masih tetap ada perusakan di kawasan yang sudah dilindungi. Terkait dengan banyaknya upaya restorasi pada ekosistem mangrove, Nyoman mengatakan peluang keberhasilannya lebih tinggi karena dominan berada di pinggir laut. “Sehingga ekosistem mangrove tidak mudah terbakar, sementara gambut bisa direstorasi dengan hasil maksimal asalkan dilakukan tidak setengah-setengah. ­Semua ­pelaku yang ada di kesatuan ­hidrologis gambut ikut berperan serta, kalau cuma separo, ketika terbakar, itu pasti akan merambat ke lahan lainnya,” pungkasnya. (Wnd/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya