Pemerintah Diminta Dialog dan Tegakkan Hukum untuk Selesaikan Konlfik Papua

Mediaindonesia.com
17/4/2023 17:05
Pemerintah Diminta Dialog dan Tegakkan Hukum untuk Selesaikan Konlfik Papua
Dialog Separatis di Papua yang digelar Foreign Policy Community Indonesia Chapter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.(Dok.UMY)

KONFLIK berkepanjangan di Papua diyakini berkaitan dengan pelanggaran di masa lalu. Karena itu untuk menyelesaikan konflik tersebut beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan dialog dan penegakkan hukum yang tegas tetapi humanis.

Hal itu disampaikan dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabriel Lele  pada dialog yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Chapter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan tajuk Aksi Kekerasan dan Terorisme Kelompok Separatis di Papua, Senin (17/4).

“Motif separatis menjadi motif utama dan eskalasi motif separatis naik signifikan sejak 2016. Mari kita rekleksikan ada apa di 2016,” ujar Gabriel.

Baca juga: Panglima TNI Kirim 900 Prajurit ke Papua, Jaga Kondusifitas dan ...

Ia menerangkan bahwa faktor Presiden Jokowi dikenal sebagai presiden paling sering ke Papua. Serta gencarnya langkah-langkah pembangunan dan percepatan infrasturuktur sedikit banyak memicu gerakan separatis.

“Karena itu refleksi terdalamnya adalah bagaimana memosisikan hubungan antara tindak kekerasan dan gerakan pembangunan. Apakah ini dapat meredam konflik atau memacu konflik lanjutan,” lanjutnya.

Gabriel mengidentifikasi gerakan KKB akhir-akhir ini menampakkan skalanya yang semakin masif. Berdasarkan data yang dihimpun oleh tim peneliti UGM, Gabriel mengemukakan titik-titik sporadis KKB tidak hanya pos keamanan yang dijaga TNI dan Polri, tapi juga pemukiman warga sipil.

“Dari data yang kami himpun sampai Juli 2022, lingkungan aparat termasuk Polsek  menjadi sasaran utama dari KKB. Tapi di luar itu, kita melihat ada eskalasi sebenarnya sudah semakin sporadis, brutal, tidak hanya pos-pos aparat bertugas, tapi juga wilayah perkampungan,” terang Gabriel.

Ia pun memberikan solusi bagi pemerintah dengan menggunakan tiga pendekatan, yakni dialog dan trust-building initiatives, pembangunan yang sensitif konflik dan langkah penegakkan hukum yang tegas tetapi humanis. “Yang harus digarisbawahi adalah dialog versi kacamata Papua adalah referendum. Ini yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Pusat untuk mengadakan dialog.”

Sementara itu, Koordinator Tim Terpadu Percepatan Pembangunan dan Kesejahteraan Bidang Polhukam Provinsi Papua, John A. Norotouw memetakan bahwa perubahan di Papua dipicu oleh tiga perubahan besar.

“Saya berbicara sebagai seorang tokoh yang ikut terlibat dalam persoalan papua merdeka dan melihat ke masa depan di bawah NKRI. Masalah ini dipicu oleh perubahan yang terjadi. Saya mempunya beberapa term waktu untuk menggambarkan bagaimana konflik terjadi. Pertama, reformasi yang terjadi di Indonesia. Kedua, otonomi khusus yang diberlaukan di Papua. Ketiga, otonomi baru DOB.”

Norotouw menjelaskan bahwa pada 1961-2000 perjuangan kemerdekaan dipimpin oleh masyarakat pesisir. Kemerdekaan ini disebabkan karena diskriminasi dan ketidakadilan bagi warga Papua yang dilakukan Pemerintah Orde Baru.

“Beberapa pemimpin masuk ke dalam negeri untuk mendorong otonomi khusus harus dilaksanakan. Ketika ruang yang kosong itu diisi oleh Beny Wenda, mereka adalah pemimpin dari pedalaman Papua. Terjadilah kolaborasi orang sedaerah itu menghasilkan kekuatan di Papua seperti di pedalaman,” kata Norotouw.

Secara pribadi Norotouw mempertanyakan kemerdekaan yang diperjuangkan KKB. Baginya kemerdekaan yang diperjuangkan KKB sudah usang. “Kemerdekaan yang harus diperjuangkan adalah kemerdekaan pada kelompok masyarakat terbelakang, miskin, bodoh, dan memiliki kesempatan yang sama di bumi yang sudah maju.”

Norotouw mendesak agar pemerintah bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu dan membangun format mengangkat Dewan Adat Papua. “Negara bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan masa lalu dan harus diselesaikan secara bermartabat. Negara harus bangun format baru dengan mengangkat dewan adat Papua semacam barometer yang mengatur kepentingan negara di Papua.”

Pada kesempatan sama akademisi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah menyebutbahwa akar masalah di Papua karena terjadinya marginalisasi dan diskriminasi atas penduduk asli. (RO/A-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Maulana
Berita Lainnya