Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
PENGAMAT politik Prof. Imron Cotan berharap semau pihak di Papua tidak mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan yang berpotensi memecah belah dan menciptakan ketidakstabilan. Pasalnya provinsi Papua dan Papua Barat sangat sangat membutuhkan pembangunan guna mengejar ketertinggalan dari provinsi lain di Indonesia.
Apalagi mereka akan menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional XX. Sementara untuk bisa membangun, suasana di Papua harus kondusif dan aman. Pernyataan Imron itu untuk merespon postingan salah seorang pemuka agama asal Papua yang menuding Indonesia sebagai penjajah yang memadukan rasisme. Menurut Imron, seorang pemuka dan tokoh masyarakat seharusnya tidak memutarbalikkan sejarah.
Baca juga: Klinik Asiki Berupaya Tekan Tingkat Kematian Ibu dan Bayi di Papua
“Oleh karena itulah, agama dan budaya muncul sebagai jawaban, bukan justru dipergunakan untuk mendikotomikan masyarakat, dengan memposisikan diri sebagai korban (playing victim), sementara pihak lain selalu dinggap penindas (oppressor),” kata Imran.
Imron mengingatkan, Indonesia adalah negara 'melting pot', yang menjadi rumah bagi kurang-lebih 500 suku-bangsa, etnis, dan ras. “Tidak satu pun suku bangsa, etnis, atau ras tersebut merasa dirinya lebih rendah dari yang lain."
Yang lebih dia sayangkan, para pemuka agama seharusnya tahu mana informasi di media sosial yang berbasis fakta sejarah dan hukum internasional, dan mana yang hoaks. “Sampai saat ini, tidak ada pernyataan Kerajaan Belanda yang membantah bahwa wilayah jajahannya di Nusantara itu terbentang dari Sabang hingga Merauke. Ketika VOC bubar pada Desember 1799, pemerintah Belanda mengambil-alih penjajahan di kepulauan Nusantara.”
Imron melanjutkan, ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, sesuai prinsip hukum internasional Uti Possidetis Juris, otomatis menetapkan secara yuridis batas wilayah Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke. Prinsip hukum intenasional Uti Possidetis Juris itu menetapkan bahwa batas wilayah dari suatu negara yang baru merdeka adalah sama dengan batas wilayah ketika wilayah tersebut dijajah.
Belanda, seperti kebiasaan buruk negara-negara kolonial lain, masih memainkan kartu ras Melanesia, dengan bertahan di Tanah Papua. Selain ingin mempertahankan statusnya sebagai negara kolonial agar berdiri sejajar dengan Inggris Raya, Perancis, Belgia, Spanyol, dan Portugal, ada beberapa tujuan utama kolonial Belanda bertahan di Papua.
Pertama, untuk menampung para warganegara dan kolaborator Belanda yang tidak ingin kembali ke negaranya. Kedua, menciptakan wilayah lindung (sanctuary) bagi warganegara Belanda dan para kolaborator. Ketiga mencegah migrasi atau exodus besar-besaran warga negara Belanda, keluarga, dan para kolaboratornya ke Belanda.
“Dan sejarah menegaskan, Belanda bersepakat dengan Indonesia untuk menyelesaikan pertikaian melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Tanah Papua di bawah supervisi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1969. Hasilnya disahkan Sidang Mejelis Umum (SMU) PBB, melalui Resolusi No.: 2504 (XXIV)/1969," kata Imron.
Sejak itulah Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan kolonialis Belanda keluar dari wilayah tersebut. Hingga kini Belanda tidak pernah lagi mempermasalahkan status Papua sebagai bagian integral wilayah kedaulatan Indonesia. Belanda juga tak pernah mengeluarkan pernyataan bahwa pada tanggal dan tahun tertentu telah mendeklarasikan kemerdekaan Tanah Papua, seperti yang sering didengung-dengungkan para pendukung separatisme Papua.
“Karena itu kita berharap, semua tokoh di Papua, baik itu kepala suku, tokoh masyarakat, para pemuka agama harus menjadi pelita bagi masyarakat Papua. Tujuannya agar kita semua bisa melangkah menuju Indonesia Emas pada 2045,” tegasnya. (Ant/A-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved