Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Dilema Suku Sasak Hadapi Modernisasi

MI/YUSUF RIAMAN
30/3/2016 06:05
Dilema Suku Sasak Hadapi Modernisasi
(MI/YUSUF RIAMAN)

SEBUAH papan kusam dengan cat sudah memudar dilengkapi tiang penyanggah terbuat dari batang bambu. Papan itu tertulis Welcome to Segenter Traditional Village. Itulah pintu gerbang menuju Dusun Segenter, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Melihat papan namanya seperti tidak terurus. Namun, saat masuk ke dusun tersebut seperti memasuki kehidupan masyarakat tempo dulu. Banyak rumah tradisional suku Sasak yang masih dipertahankan keasliannya hingga kini dan banyak wisatawan yang mengunjungi dusun tersebut. Untuk menuju ke Segenter yang berada di kaki Gunung Rinjani membutuhkan waktu 2,5 jam perjalanan dari Kota Mataram. Dusun Segenter merupakan salah satu lokasi rumah tradisional suku Sasak yang masih bertahan. Jumlah rumah tradisional sebanyak 96 unit dan dihuni 122 kepala keluarga, atau sekitar 456 jiwa. Luas kawasan lebih kurang 6 hektare. Wilayah itu telah diberi pembatas berupa batu dan semen bantuan Pemkab Lombok Utara. “Sekitar 25% rumah tradisional yang ada di sini sudah direnovasi,” kata Misayang, 32, penduduk setempat yang selalu menjadi pemandu setiap tamu datang ke dusun tersebut.

Di sepanjang perjalanan tampak deretan rumah tradisional Sasak berderet rapi berhadap-hadapan dan dipisahkan dengan bangunan yang lazimnya disebut berugak. Berhubung bangunan itu bertiang enam sehingga disebut sekenam. Dengan ukuran tiang 4 x 6 meter, tempat tersebut dijadikan tempat bercengkerama atau menerima tamu. Berugak-berugak ini telah diberi fondasi sehingga bertahan lama karena tiangnya tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Rumah tradisional Sasak ini tidak memiliki jendela. Dengan bentuk memanjang ukuran sekitar 6 x 7 meter, rumah Sasak terbuat dari anyaman bambu untuk dinding, berlantai tanah, serta beratap daun alang-alang. Dengan dibatasi berugak, deretan rumah di bagian timur untuk para orangtua, sedangkan rumah anakanak di sebelah barat. Kehidupan masyarakat Segenter tampak rukun. Jiwa gotong royong sangat dijunjung tinggi. Jika ada satu keluarga yang hendak melaksanakan pesta, para tetangga ikut ambil bagian. Fungsi berugak sangat bermanfaat untuk menjadi tempat duduk, kumpul-kumpul sembari mengerjakan sesuatu. Di tempat itu, banyak ibu memanfaatkan berugak menjadi tempat memasak. Kebetulan pada hari itu sedang diadakan acara khitanan dan potong rambut anakanak. Ada 10 anak warga Segenter yang harus dikhitan dan dipotong rambutnya.

Di sela-sela kegiatan itu, pada malam sebelumnya berlangsung kegiatan baca lontar yang dilakukan para ahli di tempat yang sama. Biasanya bacaan yang disampaikan tentang kisah Nabi Adam, sejarah Lombok, dan lainnya. Kegiatan itu disebut kawian atau membaca huruf Jawa Kuno yang ditulis di lembar potongan daun lontar. Pada acara kawian itu dibacakan kisah Rengganis, seorang raja yang merawat bayi tanpa ditemani istri. Ia dengan sabar mengunyah nasi untuk sang putri karena tidak mendapatkan air susu ibu. Kemudian pas acara khitanan, para ahli pembaca naskah kuno membacakan naskah lontar Kalibangkara yang mengisahkan perilaku pemimpin yang baik bagi keluarganya. Pada umumnya, seni membaca daun lontar menggunakan tembang khusus. Oleh masyarakat Sasak Lombok dinamakan pepaosan, di Bali disebut mabasan, dan di Jawa dikenal dengan macapatan. Sebagian besar kepala keluarga di Segenter hidup sebagai petani. Pada siang hari nyaris tidak ada laki-laki yang berdiam di rumah. Mereka menjalankan aktivitas, antara lain menggarap lahan untuk ditanami singkong dan ubi, serta mengurus hewan ternak, seperti kambing dan sapi. “Tanam padi hanya sekali dalam setahun karena lahan tadah hujan. Itu pun sekitar 5% selebihnya ya ubi dan singkong,” kata Misayang. Sayangnya, kini kampung adat seperti di Bayan ini sudah padat penduduk. Menurut warga, tidak tersisa tanah lagi.

Modernisasi
Di tengah guyubnya masyarakat suku Sasak di Bayan, ternyata menyisakan banyak masalah dan bila dibiarkan pun akan menjadi persoalan besar. Masyarakat suku Sasak pun akan mengikuti perubahan zaman meskipun tradisi dijaga sangat kuat. Datu Artadi, budayawan yang berdomisili di Karang Raden, Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, menyebutkan banyak rumah asli suku Sasak di Segenter sudah direnovasi sehingga tidak menampilkan sisi asli rumah adat suku Sasak. “Saya kecewa sekali,” kata Datu Artadi yang juga pernah menjadi kepala sekolah. Menurutnya, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk mempertahankan dan memproteksi rumah adat agar tidak hilang keasliannya atau berubah. “Sebab di situlah terkandung nilai sejarah, nilai seni budaya yang sangat tinggi,” keluh Artadi. Diakuinya, perkembangan zaman juga mengancam keberadaan rumah- rumah adat. “Kebutuhan hidup bisa berimplikasi terhadap keseharian masyarakat adat yang bermukim di sana. Maka, pemerintah harus menyiapkan lokasi permukiman lain di luar lokasi rumah adat sehingga keasliannya bisa dipertahankan,” usul Artadi. Rumah adat suku Sasak merupakan aset besar yang harus dilestarikan. Terlebih saat pariwisata di wilayah Lombok terus berkembang, satu dengan lainnya harus saling melengkapi. “Sebab pariwisata itu tidak hanya alam. Meskipun di Lombok Utara punya Gili Trawangan, Meno, dan Gili Gili, budaya juga bagian yang tidak bisa diabaikan,” tambahnya.

Di tengah modernisasi, sering terjadi benturan dengan adat kepercayaan yang sudah dijalankan masyarakat sejak lama. Diakuinya sering terjadi benturan antara kepercayaan adat dan agama. “Agama jangan dibenturkan dengan adat,” tegasnya. Banyak hukum adat di suku Sasak yang semestinya dihidupkan kembali. Dia menyebutkan keramah adat sebagai lembaga yang menaungi adat harus dihidupkan lagi karena nyaris hilang. Kemudian, hukum adat menyowok, yakni membayar denda karena melanggar ketentuan adat yang disebut menyowok juga harus digiatkan lagi. Hukum adat menyowok dilakukan selama Ramadan di Kabupaten Lombok Utara. Selama bulan puasa, warga dilarang mengadakanpernikahan, mengeluarkan perkataan jorok atau tidak senonoh, apalagi berkelahi. Bila ada warga yang melanggar larangan-larangan itu, mereka membayar denda. Warga bahkan dengan jujur melaporkan sendiri pelanggaran itu ke pengurus adat. Artadi memberi
contoh pernah terjadi cekcok antara suami istri pada saat puasa. “Mereka melaporkan sendiri telah melanggar adat,” ujarnya. Demikian juga seorang bupati di Lombok Barat pernah dihukum menyowok dengan satu kerbau. (N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya