Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan tersisih karena lahan komunal mereka terus berkurang. Kerukunan di Cigugur pun luntur karena agama dan keyakinan dipolitisasi. Berikut penelusuran reporter Nurul Hidayah. (Tulisan dua).
JIKA Bupati Kuningan Acep Purnama menyatakan bahwa masyarakat Kecamatan Cigugur merupakan miniatur Indonesia, menurut Opan Rachman Hasyim, itu benar adanya. Di kecamatan itu masyarakat yang berbeda agama, termasuk keyakinan Sunda Wiwitan, bisa hidup rukun dan tenteram.
“Di sana sekarang Islam banyak, Kristen juga banyak. Ciri masyarakat Indonesia, termasuk di Cigugur, mereka hidup damai, tenteram, dan selalu bergotong royong. Namun, itu ketika kehidupan masyarakat tidak dimasuki politik,” ujar filolog asal Cirebon itu.
Menurut dia, Sunda Wiwitan bukan agama, tetapi keyakinan masyarakat, yang sudah menjadi budaya. Keyakinan mereka sangat positif karena juga mengajarkan pelestarian dan menjaga lingkungan.
“Sunda Wiwitan itu dihidupkan kembali oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat atau Pangeran Madrais. Ia keluar dari Islam dan menghidupkan kembali ajaran Sunda Wiwitan. Jejaknya dilanjutkan sang cucu, Pangeran Djatikusumah,” paparnya.
Kebaikan itulah yang membuat Rana Suparman, Ketua DPRD Kuningan periode 2014-2019, mendukung dan membela keberadaan Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan, saat ia masih menjabat. “Mereka belum mendapatkan perlindungan dari daerah.”
Berbeda dengan Rana, ketika dihadapkan pada persoalan yang membelit Masyarat Adat, Ketua DPRD Kuningan saat ini, Nuzul Rachdy memilih bersikap netral. “Dalam soal pembangunan permakaman Pangeran Djatikusumah, saya memang mengarahkan mereka menempuh prosedur sesuai peraturan daerah.”
Saat anak dan cucu Pangeran Djatikusumah meminta audensi dengan DPRD, Nuzul memang membuka diri. Ia mengundang seluruh pemangku kepentingan.
“Saya sengaja mengundang mereka karena DPRD tidak memiliki kewenangan menentukan boleh tidaknya tugu dibangun,” paparnya.
Ketua MUI Kuningan, KH Dodo Syarif Hidayatullah, mengaku sudah menggelar rapat bersama Bakor Pakem terkait Masyarakat Akur Sunda Wiwitan dan pembangunan pasarean. “Yang muncul hanya masalah legalitas. Ada bangunan yang tidak memiliki izin,” ungkapnya.
Tanpa tedeng aling-aling, ia menambahkan bahwa selama ini Masyarakat Akur mengaku menghargai perbedaan. “Jka ada masyarakat yang tidak setuju dengan pembangunan permakaman, mereka harus menghargai juga.”
Dodo menunjuk makam Pangeran Madrais, yang sama dengan permakaman biasa. “Kalau sesuai karuhun, makam mereka sama dengan makam umum biasa saja.”
Gejolak, lanjut dia, biasanya timbul karena ada hal yang tidak lazim. “Ini kan tidak lazim. Saya kira wajar kalau terjadi penolakan.”
Girang Pangaping Adat masyarakat Akur Sunda Wiwitan, Okky Satrio Djati, mencoba menjernihkan kesimpangsiuran kabar itu. “Kami memang bermaksud membangun pasarean untuk sesepuh kami di areal seluas 1 hektare. Kami berjuang untuk itu sejak 2014 lalu.”
Ia menegaskan Sunda Wiwitan tidak beribadah di makam. “Kami punya tempat sendiri untuk sembahyang.”
Pangeran Djatikusumahyang yang lahir pada 1932 memang patut dihormati dan dikenang. Ia mendapat pengakuan dari banyak kalangan, termasuk organisasi dunia PBB, sebagai tokoh yang ikut membangun spirit toleransi. (N-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved