Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Nenek Asyani Ajukan Banding

MI/Khoirul Hamdani
24/4/2015 00:00
Nenek Asyani Ajukan Banding
Nenek Asyani(ANTARA/Seno)

"INI tidak adil! Ini tidak adil," Asyani menangis histeris saat palu hakim Pengadilan Negeri Situbondo diketuk hakim I Kadek Dedy Arcana. Perempuan 63 tahun itu, kemarin, divonis bersalah atas kasus pencurian kayu jati yang didakwakan kepadanya.

Sejatinya, penegakan hukum tidak boleh memihak. Mereka yang terbukti bersalah tetap harus dihukum. Majelis hakim PN Situbondo pun memvonis Asyani dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 1 hari penjara.

Namun, melihat usia dan kondisi kesehatan Asyani, majelis hakim pun memberi pertimbangan atas vonisnya. "Terdakwa tidak perlu menjalani hukuman penjara, tapi diganti dengan hukuman percobaan selama satu tahun tiga bulan," kata ketua majelis hakim Kadek.

Majelis hakim menyatakan Asyani bersalah karena memiliki 38 papan kayu milik Perhutani tanpa dilengkapi dokumen. Dia didakwa melanggar Pasal 12d jo Pasal 83 ayat 1a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Meski tidak perlu dipenjara, sang nenek tetap tidak terima dan merasa tidak bersalah. Asyani pun berteriak-teriak tidak bersalah dan meronta-ronta sembari menangis ingin bebas. Bukan hanya Asyani yang histeris. Mistiyah, putri Asyani, pun histeris hingga ia pingsan dan terpaksa digendong tiga polisi wanita ke klinik PN Situbondo.

Atas putusan majelis hakim tersebut, Supriyono, kuasa hukum Asyani, menyatakan banding atas vonis yang dijatuhkan kepada kliennya. "Majelis hakim mengabaikan hati nurani. Kami menduga majelis hakim lebih mengedepankan solidaritas sesama aparat negara dalam memutuskan perkara ini. Karenanya kami banding," tegasnya. Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Nusantara Situbondo itu menilai semua tuduhan soal pencurian kayu tidak terbukti.

Belum berpihak
Jika melihat kasus yang menimpa Nenek Asyani, pakar hukum Universitas Brawijaya Malang Rachmad Syafa'at berpendapat aparat penegak hukum seharusnya menggunakan prinsip bahwa instrumen pidana itu bukanlah instrumen utama, sehingga keadilan sosial tidak selalu berujung penjara.

"Artinya, jangan mudah memenjarakan orang, sebab proses sampai pengadilan itu berbiaya mahal," tegasnya saat dihubungi, kemarin.

Apalagi dalam kasus Nenek Asyani, lanjut Rachmad, polisi seharusnya sejak awal menggunakan kewenangan diskresi. Dengan begitu, kasus nenek itu bisa dikecualikan dengan memilih proses musyawarah.

Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Ichsan Zikry juga mengatakan bahwa putusan hakim hanya memenuhi unsur menjalankan undang-undang tanpa melihat sisi kemanusiaan dan nurani. "Bentuk peradilan di negara ini belum berpihak pada orang kecil seperti Nenek Asyani," ujar Ichsan. (BN/Adi/X-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya