Pengawasan Laut Cara Lapangan dan Digital

Siti Retno Wulandari
30/1/2016 01:45
Pengawasan Laut Cara Lapangan dan Digital
(ANTARA/IRSAN MULYADI)


Halaman: 16-01 Rubrik: MARITIM
SUDAH berhari-hari Hayunan tak mendapatkan hasil dari aktivitasnya sebagai nelayan di Pulau Buru. Namun, kendaraannya berupa kapal dengan kapasitas yang tidak mencapai 1 gross tonnage (gt) tak dibiarkan menepi. Hayunan tetap membawanya ke laut sejauh 10 mil dari bibir pantai. Hingga di suatu siang, tangannya bergerak, berusaha menahan benang yang digunakan sebagai alat pancing.

Pada kait yang salah satu sisinya dipasang umpan ikan kecil itu terdapat ikan yang meronta. Tangkapan setelah jerih payah lama itu berupa ikan tuna yang beratnya mencapai 50 kg. Tangkapan Hayunan termasuk yang kini menjadi perhatian Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI). Pasalnya di Indonesia, menurut mereka, banyak penangkapan tuna yang tidak dilaporkan. Praktik ilegal yang dilakukan oleh nelayan kecil, dan terlebih lagi kapal-kapal ikan besar tentunya sangat memprihatinkan.

Ketiadaan angka tangkapan membuat negara sulit mendapatkan gambaran stok sumber daya yang sebenarnya. Akibatnya, bangsa ini bisa terjerumus kian dalam pada eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan. Berdasarkan data Bank Dunia, perikanan ilegal yang tidak tercatat dan terlaporkan bisa mengancam 65% kehidupan terumbu karang Indonesia dan 85% stok ikan secara global. MdPI kini berusaha mendata dengan menempatkan tenaga pendata (enumerator).

"Meskipun jumlahnya kecil, kami berusaha untuk mendata dengan menempatkan tenaga pendata. Ini bisa menjadi bahan kajian pemerintah terkait besaran tangkapan, khususnya tuna," ujar Executive Director Yayasan MDPI, Aditya Utama Surono, dalam diskusi Combatting Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di @america (pusat kebudayaan AS) di Jakarta, Rabu (27/1).

Aditya pun menyerukan pentingnya pendataan agar kehidupan laut tetap terjaga. Ia juga melihat bahwa kalangan nelayan masih sangat perlu diedukasi mengenai pentingnya pelepasan ikan yang berada di bawah ukuran tangkap.
"Kalau dibilang ilegal, mereka enggak akan mengerti dan tetap diambil. Jelaskan pentingnya ikan-ikan kecil tersebut sebagai pengganda cadangan ikan di dalam laut demi kebutuhan mereka juga," imbuhnya. Di sisi lain, pemerintah juga tidak tinggal diam.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) IUU Fishing, Mas Achmad Santosa, menyebutkan penindakan terhadap kapal-kapal ilegal terus dilakukan. Penindakan itu mampu meningkatkan produktivitas nelayan kecil. Ia mengutip penelitian yang dilakukan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), produktivitas kapal nelayan dengan kapasitas di bawah 10 gt meningkat sebesar 1,9%, sedangkan untuk kapasitas 10-30 gt mencapai 40,6%.

"Awalnya moratorium (kapal ikan eks asing) itu hanya 6 bulan, sekarang menjadi 12 bulan. Kapal eks asing kapasitasnya besar, 200-600 gt, sudah pasti mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia," kata laki-laki yang akrab disapa Ota itu.

Global fishing watch
Selain moratorium terhadap kapal ikan eks asing dengan bobot lebih dari 30 gt, pembenahan dilakukan dengan menggunakan pengawasan berbasis teknologi satelit. Sistem pengawasan itu dilakukan bekerja sama dengan lembaga swadaya asing Skytruth dan Oceana, juga Google Indonesia. Pergerakan kapal yang berada di sekitar wilayah laut Indonesia dipantau dengan teknologi yang memadukan penggunaan menu Google Earth.

Lewat teknologi itu pergerakan kapal akan muncul pada peta dunia digital sebagai kerlipan cahaya dengan warna yang berbeda dan sangat dinamis. Hijau, kuning, hingga merah terus bergerak cepat, sementara di sisi bagian bawah layar pemantauan akan terdapat papan waktu yang menunjukkan tanggal, bulan, serta tahun kapan kondisi tersebut terjadi.

Jejak pergerakan kapal akan ditunjukkan dengan garis-garis putih. Maka dari situ pula petugas pengawas dapat mendeteksi gerakan yang mencurigakan. "Indonesia akan jadi negara yang pertama menggunakan teknologi pemantauan global fishing watch. Kita bisa tahu kapal siapa yang memasuki zona ekonomi eksklusif kita, bisa terlacak, sehingga bisa kita jaga sumber daya kelautan," tukas Shinto Nugroho dari Google Indonesia.

Google sendiri pernah melakukan uji coba di negara Kepulauan Kiribati, yang kemudian menetapkan suatu wilayah laut tidak boleh didatangi kapal penangkap ikan. "Mengeluarkan peraturan dan memberikan sanksi kepada pelanggar, hasilnya mereka mendapat US$2,2 juta dari denda tersebut," imbuh Shinto.

Pemberantasan kejahatan di wilayah perairan juga mendapat perhatian dari pemerintah Amerika Serikat.
Seperti disampaikan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Blake, kedua negara memiliki kemiripan masalah dalam hal kelautan. Karena itu, AS mengucurkan dana US$33 juta, yang difokuskan untuk penjagaan keanekaragaman hayati termasuk memerangi penangkapan ilegal ikan. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya