Pekerja sedang memasang merek dagang tembakau asap tradisional Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu(MI/LINA HERLINA)
TAMPAK rumah dengan pintu terbuat dari kayu tua berwarna cokelat terbuka lebar. Di atas pintu tua terdapat papan bertuliskan pengasapan tembakau dengan izin usaha 1969.
Saat saya memasuki rumah itu, di balik pintu ternyata ada halaman luas dengan sisa tembakau kering yang mengeluarkan aroma tidak menyengat. Namun, semakin masuk ke rumah pengasapan itu, tampak ruangan suram dan gelap.
Bahkan cat tembok dan kayu pun berubah kecokelatan seperti warna tembakau. Di ruangan yang suram itu, tercium bau asap dan wangi aroma tembakau bercampur gula merah.
HM Saide, 93, ialah pemilik usaha tersebut. Kakek renta dan sudah pikun itu dikenal sebagai pengusaha rokok Bugis yang sangat lihai.
Terbukti, usaha yang ia dirikan mampu bertahan hingga kini di tengah gempuran rokok keretek dan impor. Apalagi rokok pabrikan disokong propaganda dengan dana yang besar.
Tembakau atau ico dalam bahasa Bugis tersebut oleh HM Saide diberi nama Tembakau Cabbeng Asli Adidie atau lidi dalam bahasa Indonesia. Saide telah mengantongi hak paten dengan nomor 264155.
Tersisa Perusahaan rokok tradisional itu merupakan satu-satunya yang tersisa di Makassar. Mengapa disebut Adidie? Pada mula pengerjaannya para pekerja akan menyiapkan daung kaluku (daun kelapa) dengan cara memisahkannya dari tulang daun nyiur (lidi atau adidie).
Daunnya akan menjadi pelapis bagian dalam timpo (tabung bambu) dan tulang daunnya akan diolah menjadi sapu lidi, yang akan menjadi sumber pendapatan tambahan pekerja.
Sebagian kecil lidi dan daunnya akan menjadi alat meniriskan cairan gula merah ke tumpukan tembakau yang telah kering, dan bercampur dengan rempah seperti cengkih untuk campuran rokok.
Itulah mengapa baunya cukup wangi khas rokok penuh rempah. Namun, rokok Bugis itu hanya dicampuri gula merah cair sehingga wangi.
Saat saya temui, Saide sedang memenuhi pesanan rokok Bugis dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Para pekerja pun siap bekerja selama lima hari hingga proses pengiriman tembakau ke pemesan.
Setelah hari pertama, para pekerja mencampur tembakau sebanyak 300 kilogram dan gula merah 250 kilogram untuk pemesanan 250 timpo.
Pada hari kedua, mereka mulai mendulang, yaitu memasukkan tembakau yang sudah bercampur gula ke sebuah wadah lalu dipres/ditekan dan dibulatkan sebesar diameter timpo.
Kemudian tembakau yang sudah dipres dimasukkan ke timpo. Satu timpo dengan ukuran panjang 50 cm dan diameter 15 cm mampu diisi hingga 40 bulatan tembakau.
Bagian dalam timpo dilapisi daun kelapa yang gunanya untuk membantu pengasapan agar sempurna. Perlu dua hari kerja untuk mempersiapkan pengasapan tembakau. Pada hari keempat dilakukan pengasapan.
Di ruang pengasapan terdapat empat bidang yang ditata sedikit menurun dengan sudut kemiringan sekitar 10 derajat. Di situlah timpo-timpo yang sudah berisi tembakau gulung akan diasapi dengan diletakkan secara berjejer.
Pada saat pengasapan, serbuk kayu digunakan untuk pembakaran. Asap pun membubung tinggi saat proses pengasapan berlangsung selama 24 jam. Selama pengasapan, timpo harus dibolak-balik agar merata.
Pada hari kelima setelah tembakau matang, timpo diangkat satu per satu dari tempat pengasapan, kemudian dibungkus dengan kertas minyak yang sudah diberi stempel bertuliskan merek dagang. Tembakau Cabbeng Asli Adidie bikinan HM Saide Jalan Tinumbu No 78A/94 telepon 323938 Ujung Pandang nomor paten 264155.
Setelah itu, setiap 12 timpo akan dikemas dalam satu karung plastik (karoro) dan siap dikirim ke pemesan. Satu timpo tembakau Bugis dibanderol dengan harga Rp80 ribu.
Namun, bila timpo sudah di tangan pengecer, harganya akan berbeda. Mohammad Nur, seorang pengecer, menjual satu bulatan ico seharga Rp5.000. "Untungnya memang besar dan rasanya beda bila dibandingkan dengan rokok putih yang memakai filter," jelasnya.
H Nur, penanggung jawab pengawasan tembakau, menambahkan sejak usaha pengasapan tembakau berdiri hingga era 90-an, para pekerja susah libur karena banyaknya pesanan. Namun, saat ini mereka bekerja jika ada pesanan saja.
Saat ini untuk pengasapan juga berbeda. "Pada awalnya hingga 1980-an sampai 1990-an, pembakaran menggunakan arang. Namun, sekarang ini kami menggunakan serbuk kayu karena lebih mudah mendapatkannya. Kualitasnya nyaris sama," ungkapnya. (N-4)