Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
TIM pendamping dan tim kuasa hukum Agni, menilai pihak UGM lamban dan tidak serius menangani kasus pelecehan seksual yang menimpa mahasiswinya.
“Kami menganggap proses penanganan yang sudah berlarut-larut ini adalah bentuk kurang seriusnya UGM dan lalai dalam menangani kasus ini,” kata Suharti, Direktur Rifka Annisa yang mendampingi Agni (nama samaran korban/mahasiswi), dalam jumpa pers di Yogyakarta, Kamis (10/1).
Selain lamban, menurut Suharti, UGM juga tidak transparan dalam menangani kasus Agni yang terjadi pada akhir Juni 2017. Hal itu disebabkan sampai sekarang tim pendamping dan penyintas tidak mendapatkan informasi yang jelas terkait dengan apa saja yang telah dilakukan pihak UGM.
UGM, lanjutnya, juga membentuk tim investigasi dan membentuk Komite Etik Mahasiswa yang kerjanya telah rampung. Namun, pihaknya tidak mendapatkan hasil dan rekomendasi dari Tim Investigasi dan Komite Etik. Pihak UGM juga tidak konsisten dalam kesepakatan yang dibuatnya. Sebelumnya, disepakati tidak akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Apalagi, kondisi psikis korban tidak memungkinkan secara psikologis dan kejadiannya sudah 1,5 tahun lalu di luar Jawa.
Koordinator kuasa hukum Agni, Catur Udihandayani, menambahkan, korban juga mendapat masukan dari sejumlah pihak UGM untuk tidak menyampaikan kasusnya ke publik karena dapat memperburuk citra UGM. “Penyintas diwanti-wanti jangan sampai mencemarkan nama baik UGM,” kata Udihandayani. Penyintas hanya ingin UGM memberikan sanksi etik kepada pelaku.
Namun, pada 18 November 2018, Polda Maluku mengabarkan tentang penyelidikan kasus tersebut. Keesokannya, penyintas diperiksa di Polda DIY. “Penyidik Polda DIY juga meminta penyintas melaporkan kasusnya, tapi penyintas menolaknya,” imbuh Udihandayani.
Namun, pada 9 Desember 2018, Kepala Satuan Kemanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM Arif Nurcahyo justru melaporkan kasus tersebut ke Polda DIY tanpa persetujuan dan konsultasi kepada korban. Padahal, sejak awal pelapor ikut mendampingi kasus ini. Dia juga tahu kesepakatan yang telah dibuat agar tidak melaporkan kasusnya ke jalur hukum. “Tapi mengapa malah mereka sendiri yang melaporkan, ini salah satu ketidakkonsistenan UGM,” kata Suharti.
Udihandayani menambahkan, jalur hukum bukanlah pilihan penyintas. Namun, tetap akan dihadapi hingga tuntas dan jangan sampai dihentikan atau SP3. “Sebab akan memberikan preseden buruk bagi penangan kasus kekerasan seksual lainnya,” tandasnya. (FU/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved