Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
PENERTIBAN keramba jaring apung (KJA) di perairan Waduk Cirata yang telah berjalan selama tiga bulan belum begitu berdampak pada perbaikan lingkungan. Namun begitu, dampak terhadap masyarakat dianggap cukup besar.
Hingga saat ini, penertiban KJA yang meliputi wilayah Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur, sudah berjumlah sekitar 7.100 petak. Ditargetkan, pada akhir tahun ini penertiban KJA bisa mencapai sekitar 11.000 petak.
"Badan Pengelola Waduk Cirata bersama dengan Satgas Citarum Harum Sektor 12 akan terus menertibkan KJA hingga lima tahun ke depan, tidak boleh berhenti. Program itu akan terus berlanjut, mungkin sampai 2023 atau sudah habis semua KJA di Cirata," kata Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata, Wawan Darmawan di Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (7/10).
Dia mengatakan, sampai saat ini Surat Keputusan Bupati Nomor 41 Tahun 2002 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk masih diberlakukan. Artinya, di perairan Waduk Cirata masih dibolehkan terdapat KJA yang jumlahnya dibatasi hanya 12.000 petak agar tak mencemari kadar air.
"Memang akan kami lihat, apakah kami sisakan 12.000 petak atau zero. Itu tergantung keputusan pemerintah dan mungkin gubernur, nanti kami diskusikan. Namun, sampai saat ini SK Gubernur Nomor 41 Tahun 2002 menyebutkan 12.000 petak. Jadi, jumlah KJA saat ini akan kami turunkan terus," bebernya.
Pada musim hujan, menurut dia, penertiban KJA akan sedikit mengalami kendala. Akan tetapi, dia berharap sampai akhir tahun ini penertiban KJA dapat sesuai dengan target.
"Masyarakat jangan melihat kami menghentikannya, karena program ini sudah digulirkan. Ini juga program mulia, semua orang harus tahu dan semua stakeholder harus mendukung," ujarnya.
Wawan mengakui, pengurangan 7.100 petak KJA dari total 98.400 petak KJA yang ada di seluruh perairan Cirata memang masih sedikit. Dampak lingkungannya pun belum terasa signifikan. Meski begitu, upaya penertiban itu setidaknya membuat masyarakat mengerti agar tak lagi menambah KJA di Cirata.
"Pada 2016 itu jumlahnya 77.000 petak, padahal izin sudah tidak ada. Kami sudah setop izin KJA sejak November 2014. Namun, ternyata ada izin atau tidak, KJA terus bertambah. Sampai akhirnya pada 2018, selama dua tahun, tumbuh sampai 98.000 petak. Itu permasalahan yang utama. Sekarang saat dilakukan penertiban, maka tidak ada lagi penambahan KJA," ungkapnya.
Wawan mengungkapkan, dalam melakukan penertiban KJA, pihaknya sering kali menemui kesalahpahaman dalam hal sosialisasi serta masalah soal alih usaha pada pemilik KJA. Namun, dia menekankan bahwa penertiban KJA sudah didahului dengan sosisialisasi.
"Setelah semua KJA itu diangkat atau paling tidak sebagian besar, orang mulai berpikir bagaimana alih usaha. Itu sesungguhnya yang jadi pekerjaan rumah kita bersama. Kami sudah melakukan alih usaha untuk membuat prototipe bioflok serta perikanan dari waduk ke darat, meski tidak bisa menjamin masyarakat mengikutinya," bebernya.
Pihaknya berharap, pemerintah daerah bisa lebih aktif dalam mendorong alih usaha para petani ikan di Cirata. Pasalnya, penertiban KJA dimaksudkan untuk mengurangi tingkat pencemaran air, yang pada akhirnya dapat memberi manfaat bagi masyarakat secara umum.
"Dalam waktu dekat, gubernur akan diajak diskusi, bupati juga akan kami berikan sosialisasi. Pokoknya, penertiban KJA harus dilakukan secara konsisten, tapi jangan sampai masyarakat yang nanti dirugikan," jelasnya. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved