Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BERKALI-KALI terdengar suara nyaring melafalkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Padahal, suara itu hanya berasal 21 anak yang berada di sebuah ruangan ukuran 4x5 meter dengan pintu yang terbuka lebar menghadap ke jalan.
Wahyu Wibowo, siswa kelas 8 SMP Negeri 1 Bonorowo, bersama dengan Beni Nugroho, siswa kelas 8 SMP negeri 1 Sadang, terlihat serius mendengarkan dan kemudian mengutarakan dengan suara keras kalimat-kalimat berbahasa Inggris.
Pengajarnya, Masfufah juga tampak begitu semangat untuk mengajari kalimat demi kalimat kepada anak didiknya.
Begitulah suasana pembelajaran atau kursus di Kampung Inggris di Desa Jatijajar, Kecamatan Ayah, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng), pekan lalu.
Ada tiga ruangan yang digunakan untuk proses belajar. Ketiga ruangan terpisah dan menginduk di rumah penduduk.
"Kami sangat terbantu oleh peran serta masyarakat di sini. Mereka menyediakan tempat untuk belajar sekaligus juga menyiapkan kamar-kamar sebagai homestay mereka yang mengikuti kursus bahasa Inggris," ungkap salah satu tutor Kampung Inggris Kebumen (KIK) di Desa Jatijajar Edit Sarwono.
Ia menambahkan kalau para siswa yang mengikuti kursus bukan hanya mengikuti proses belajar bersama para tutor, melainkan juga berinteraksi dengan masyarakat.
Selama mengikuti proses kursus yang berlangsung selama dua minggu, para siswa tidak pulang ke rumah, tetapi hidup di homestay yang disediakan oleh penduduk.
Seorang warga pemilik homestay, Eka Susilo Rini, 46, menuturkan dirinya tidak hanya sebagai seorang ibu kos untuk anak-anak selama mereka kursus di KIK. Tetapi lebih dari itu, ia menjadi pengganti orang tua selama mereka di sini.
"Jadi saya harus bisa sebagai pengganti orang tua mereka. Setiap hari mengontrol mereka, selama hidup di homestay. Mulai dari bangun pagi, mandi, sarapan sampai bagaimana mereka berinteraksi. Sebagai pengganti orang tua, tentu saja dituntut mengajarkan kedisiplinan dan tata krama," jelasnya.
Bahkan, dirinya juga harus terus belajar bahasa Inggris agar bisa mengimbangi mereka yang menginap di homestay miliknya.
"Makanya sebelum pembentukan KIK, saya termasuk warga yang diberikan kursus bahasa Inggris. Tentu saja, pada awalnya saya bertanya, kenapa sudah tua harus mempelajari bahasa Inggris. Ternyata ketika mengikuti kursus, sangat menyenangkan," ungkapnya.
"Ya, akhirnya sedikit-sedikit saya juga bisa berbahasa Inggris,sehingga pada anak-anak yang menginap di sini tanya ini dan itu, setidaknya saya bisa menjawab. Konsekuensinya, bukan para peserta kursus saja yang belajar. Saya yang sudah tua ini juga tak berhenti belajar," ungkapnya.
Salah seorang pengurus KIK Supriyanto mengungkapkan sebelum KIK dibuka pada Agustus 2016, ada 100 warga yang disiapkan untuk mendukung rencana tersebut.
"Mereka terdiri dari anak, remaja, bahkan orang tua. Semuanya merupakan anggota masyarakat di Desa Jatijajar, karena mereka nantinya yang akan mengurus berbagai hal pada saat KIK berjalan," tutuny.
Warga dibekali dengan kemampuan berbahasa Inggris utamanya dan bagaimana mereka bersikap kalau ada tamu serta menjadi ibu kos bagi peserta kursus. Sebab, mereka yang kursus di KIK tidak boleh pulang, harus tinggal bersama masyarakat di honestay selama dua minggu.
"Persiapan lainnya adalah menyekolahkan para tutor di Pare, Kediri selama 1,5 tahun sehingga mereka akan mampu menjadi tutor yang baik terutama berbahasa Inggris," jelasnya.
Para orang tua khususnya yang memiliki homestay memiliki peran penting untuk mereka yang mengikuti kursus di sini.
"Untuk anak SD misalnya, membutuhkan waktu 3-5 hari, sehingga ibu kos benar-benar sebagai pengganti orang tua. Mereka rela untuk menyuapi atau bahkan menidurkan anak-anak. Kasih sayang mereka dicurahkan untuk anak-anak yang menginap," ulas Supriyanto.
Kalau untuk yang lebih besar siswa SMP atau SMA yang harus menginap selama dua pekan, lanjut dia, perlakuannya agak berbeda. Mereka dilatih untuk berdisiplin dan mandiri.
Untuk tetap menjaga kemampuan mereka, lanjut Supriyanto, para pengelola homestay atau warga lainnya yang masih tetap ingin meningkatkan kemampuan bahasa Inggris, KIK membuka kelas bebas tanpa bayaran.
"Kami membuka saat Rabu malam dan Sabtu malam untuk kelas volunter. Jadi, mereka boleh tetap belajar meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, gratis. Warga juga tetap terlibat aktif ketika dimulainya kursus, mulai penyambutan sampai nanti saat acara adventure ketika sesi terakhir kursus," ujarnya.
Pengurus KIK lainnya, Darto menambahkan warga memang dilibatkan dalam pelaksanaan pembelajaran di KIK. Mereka sebagai teman belajar berbicara, mendidik kedisiplinan, serta bagaimana bertutur sapa dengan masyarakat sampai cara makan di rumah.
"Pelibatan masyarakat sangat penting, karena kita merupakan bagian dari masyarakat. Tujuannya juga mengembalikan pendidikan sebagai tanggung jawab masyarakat. Prosesnya adalah menuju masyarakat belajar. Karena sesungguhnya semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, seperti kata Ki Hajar Dewantara," tambahnya.
Ia menekankan, proses belajar di sini melibatkan banyak orang dan di luar ruangan seperti tepi sawah dan musala. Sebab, pendidikan adalah sebuah taman yang merupakan tempat bermain dan menyenangkan.
Menurutnya, sebetulnya pembelajaran di KIK tidak sebatas mengasah kemampuan berbaha Inggris para peserta kursus, tetapi lebih dari itu, bagaimana membangun karakter anak-anak.
Menurutnya, roh dari pembelajaran di KIK sejatinya adalah character building dan spriritnya adalah education yang beorientasi pada pelayanan, bukan profit.
"Kami mengembangkan immersion program, membangun sebuah lingkungan yang diniatkan bisa mewarnai. Sebagai contoh, orang berhaji itu hanya beberapa pekan, tetapi mengapa itu bisa mewarnai sepanjang hidupnya? Nah konsep semacam inilah yang dikembangkan di sini," paparnya.
Dijelaskan oleh Darto, sejak dibuka Agustus 2016 lalu, sudah ada 4.900 yang lulus mengikuti kursus di KIK. Mereka berasal dari Kebumen dan kota-kota sekitarnya. Bahkan, ada yang datang dari jauh seperti Banten dan Jakarta, dan biasanya mengikuti program saat liburan.
"Para pengurus KIK telah berkomitmen untuk tetap mendahulukan warga sekitar. Bahkan, KIK memiliki program ke sekolah-sekolah di sekitar Jatijajar, Kecamatan Ayah untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka," tandasnya.
Para lulusan dari KIK ternyata tidak hanya meningkat kemampuan dalam bahasa Inggris.
Menurut Darto, dampaknya cukup bagus. Mereka yang mengikut kursus di sini, meningkat prestasinya di sekolahnya masing-masing, terutama dalam bahasa Inggris. Bahkan, ada peningkatan keberanian untuk tampil serta pendidikan karakternya juga terlihat.
"Kami diberitahu dari sekolah-sekolah yang memantau para siswa lulusan kursus KIK. Apakah rampung kursus, ada tugas pada diri mereka? Ada. Mereka harus mengembangkan kemampuannya dengan mencari pengikut atau mengumpulkan lagi teman-teman baru untuk mengamalkan ilmunya. Entah membuat klub Inggris di sekolah atau sekitar tempat tinggalnya." (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved