Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Anak-Anak Mindanao Betah hingga Lancar Berbahasa Indonesia di Pidie

Teguh Nirwahyudi
12/5/2018 10:50
Anak-Anak Mindanao Betah hingga Lancar Berbahasa Indonesia di Pidie
Siswi Sekolah Sukma Bangsa (SBB) belajar bersama di pelataran Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Gempong Pineung, Peukan Baro, Pidie, Aceh, Jumat (11/5).( MI/RAMDANI)

YAYASAN Sukma Bangsa di Kabupaten Pidie, Aceh, sudah berkiprah untuk dunia pendidikan Indonesia selama 12 tahun. Selain memberi beasiswa bagi siswa korban konflik, korban tsunami, dan anak yatim, Sekolah Sukma Bangsa Pidie juga memberikan beasiswa kepada 24 siswa dari Mindanao, Filipina.

Anak perempuan itu berjilbab biru, dia membelakangi seorang anak lelaki, bak adegan film mereka sedang berakting. Keduanya berbicara. Sejurus kemudian, seorang anak yang lebih tinggi dari keduanya berteriak, “cut".

Tangan kanannya memengang gawai dan tangan kirinya mengarah anak perempuan itu untuk mendekat.Sepintas mereka terlihat seperti anak-anak pada umumnya, namun jika lebih peka mendengar terselip bahasa yang asing di telinga. Selain, berbicara Inggris mereka juga mengunakan Bahasa Tagalog dengan sesamanya.

Di antara ketiganya, sang kameraman sekaligus sutradara yang lebih fasih berbahasa Indonesia. Namanya, Ibni Hajil. Ditemui Media Indonesia, Kamis (10/5), ia mengaku sedang mengarap proyek film bersama dua temannya.

“Kami sedang bikin tugas, proyek film,” kata Ibni, disambut senyuman dua teman lainnya.

Sudah hampir dua tahun, 22 siswa Mindanao, Filipina berada di Sekolah Sukma Bangsa (SSB) Pidie. Mereka merupakan penerima bantuan pendidikan dari Yayasan Sukma Bangsa.

Pemberian bantuan pendidikan untuk mereka merupakan salah satu bagian dari proses negosiasi pembebasan 10 warga negara Indonesia (WNI) yang dilakukan Yayasan Sukma dengan kelompok Abu Sayyaf pada Mei 2016 lalu.

Mereka berasal dari Provinsi Cotabato, Zamboanga, Basilan, Sulu, dan Tawi-tawi. Masing-masing 12 perempuan dan 10 laki-laki. Selama empattahun mereka akan mendapatkan beasiswa pendidikan secara penuh dari tingkat SMP hingga SMA.

Remaja kelahiran 18 Juni 2002 itu, mengaku mengetahui tawaran beasiswa dari saudaranya. Ketika itu, ia diberitahu kakaknya jika ada sekolah di Indonesia membuka peluang belajar untuk anak-anak bangsa Moro.

“Sebenarnya saya tipikal anak pendiam, jarang bergaul. Kegiatannya sekolah dan sorenya langsung pulang ke rumah,” kata Ibni, anak ke-8 dari 9 bersaudara.

Namun, ia berubah pikiran dan berniat mengikuti seleksi penerimaan beasiswa tersebut. Motivasinya, agar bisa mengenal dan memiliki teman banyak di negara lain.

“Saya liat video Sukma Bangsa, dan saya tertarik ketika melihat mereka belajar dan kegiatan mereka,” sebut Ibni.

Sesampai di Sekolah Sukma Bangsa. Ia menjadi siswa termuda yang datang dari Filipina dan mereka juga tidak saling mengenal satu sama lainnya.

"Meskipun kami sama-sama dari Mindanao, Filipina, tetapi budaya dan bahasa kami juga beda-beda. Saya dari Sulu, ada juga yang dari Basilan dan Cotabato,” sebutnya.

Meski begitu, Ibni menjadi salah satu siswa yang dengan cepat bisa berbahasa Indonesia. Dia pun tak segan berbaur dan menyapa dalam bahasa.

“Mungkin sebulan sudah bisa memahami bahasa Indonesia tetapi tidak bisa bicara, sekarang malah sudah lancar. Bahasa Aceh juga bisa,” kata Ibni sembari mengucapkan “Pajoh bu (makan nasi).

Proses adaptasi berlangsung singkat. Ibni pun kian kerasan di Sukma Bangsa. Ia bahkan, sangat menikmati kebersamaanya dengan teman-teman dan guru yang begitu dekat.

“Di sini saya senang, kalau ada olahraga suka main tenis meja.Teman dan gurunya sangat menyenangkan,” kata tersenyum.

Tidak hanya itu, ia juga terkesan dengan konsep sekolah seperti di Filipina karena ada peraturan 3 No, yakni no smoking, no bullying, dan no cheating.

Tidak menutup kemungkinan penyuka ayam bakar ini akan tetap melanjutkan pendidikan perguruan tinggi jika mendapatkan peluang beasiswa. Pasalnya, selama di Aceh ia bisa bebas jalan-jalan dan menikmati kehidupan di Aceh.

“Keluarga saya banyak, jika di sana saya jarang jalan-jalan, kalau di sini sering jalan-jalan. Apalagi orang Aceh baik,” terangnya.

Salah seorang siswa asal Old Capitol Tampilong, Mamarawi City, Amania Macasimbar Abdulsamad menceritakan pengalaman berbeda. Pasalnya, dalam pikirannya akan melanjutkan pendidikan kuliah di kawasan gedung-gedung bertingkat (Jakarta).

Di tempat asalnya, sudah menamatkan sekolah setingkat SMP selama 4 tahun. Kurikulum saat itu, menjadi angkatan terakhir yang tidak perlu melanjutkan pendidikan setingkat SMA. Mereka bisa langsung melanjutkan pendidikan kuliah.

Meski demikian, Amani memilih untuk tidak melanjutkan kuliah di Filipina. Ia mengambil tawaran mengikuti program beasiswa yang diberikan Yayasan Sukma.

"Memang sayang karena sebenarnya Amani turun kelas, harusnya Amani semester 4 di kuliah tapi sekarang masih kelas 1 SMA. Memang Amani yang mau, tidak apa-apa kalau sekarang kelas 1 SMA,” kata Amani dengan berbahasa sedikit terbata-bata.

Ia pun tidak menyangka, sambutan dan pendidikan di Sukma Bangsa membuatnya betah bahkan ia melupakan sedikit kekecewaan lantaran tidak bisa kuliah di kota.

"Saya merasa senang dan nyaman di sini karena saya bisa berkomunikasi dengan orang lain. Saya bisa belajar benar-benar fokus. Ini kesempatan bagus untuk saya bisa belajar di luar negeri,” papar anak ketiga dari 8 bersaudara itu.

Selain tidak mengenal letak Aceh secara geografi. Dia juga tidak bisa menikmati masakan Aceh ketika sebulan pertama berada di Sekolah Sukma Bangsa.

"Amani cuma tahu dan dengar Indonesia. Tapi Indonesia yang kami tahu itu hanya Jakarta, tidak tahu tempat lain. Makananan juga awalnya tidak suka,” cerita remaja kelahiran 21 Februari 1998 itu.

Menariknya, kini Amani begitu mengidolakan masakan Aceh. Bahkan, ketika sudah menikmati masakan Aceh, nafsu makannya bertambah.

“Dulu kan tidak suka, sambal juga. Tetapi pas udah tau enak. Amani jadi malu karena makannya banyak,” ketusnya sembari terkekeh.

Sebelumnya, Otoritas Filipina menerapkan program pendidikan kelas 12 (K-12), dimana pendidikan dasar hingga kelas 10 (K-10). Di program K-10, siswa di Filipina menempuh SD selama 6 tahun dan SMP selama 4 tahun.

Lulus SMP, mereka bisa melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.  Pada pertengahan 2016, Filipina mengubah program pendidikan dasar mereka menjadi K-12. Saat ini, pendidikan dasar mereka ditempuh selama 12 tahun, yakni untuk SD selama 6 tahun, SMP 4 tahun, dan SMA 2 tahun. Setelah tamat SMA, bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Sementara itu, Direktur SSB Pidie, Marthunis Bukhari menyebutkan proses belajar mengajar siswa Mindanao dipusatkan dalam satu ruangan. Pasalnya, guru akan mengantarkan pelajaran dalam Bahasa Inggris.

"Bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar mereka. Meskipun mereka juga mendapat pelajaran Bahasa Indonesia di dalam kelas,” sebutnya.

Mendidik anak-anak Mindanao jadi pekerjaan berat bagi tenaga didik yang ada di SSB Pidie. Meski mereka pengelaman mendidik anak-anak korban konflik di Aceh.

“Proses belajar mengajar mereka sempat dicampur dengan siswa Indonesia. Tetapi tidak lama,” katanya.

Selain disatukan dalam satu kelas khusus, SSB Pidie kemudian mencari cara lain agar mereka mudah beradaptasi dengan murid lokal lainnya. Yaitu dengan mencampur mereka dengan siswa Indonesia di asrama.

"Mereka semua tinggal di asrama. Kemudian dalam praktek pembelajaran di sekolahnya, juga kita libatkan dengan siswa-siswi lokal,” pungkasnya. (FD/OL-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik