Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
SEJAK berdiri 12 tahun silam, pascatsunami melanda Aceh, Sekolah Sukma Bangsa turut berkontribusi ikut mencerdaskan anak bangsa, dengan memberikan beasiswa penuh bagi anak-anak korban konflik dan korban tsunami Aceh.
Upaya itu berbuahkan hasil, prestasi akademik dan nonakademik yang diukir anak-anak yang meraih beasiswa tersebut cukup membanggakan.
Salah seorang siswa, Muhammad Ridha, telah menuai banyak prestasi. Bahkan, ia bersama kelompoknya mampu menciptakan sebuah aplikasi baru pada perangkat smartphone dan website.
Menurutnya, aplikasi yang diberi naman Gamichal merupakan aplikasi pembelajaran kimia, khususnya materi asam dan basa. Bahkan, dalam aplikasi itu juga terdapat beberapa fitur lainnya, seperti gim kimia dan kuis pembelajaran kimia.
“Aplikasi ini menawarkan kesetaraan, artinya biasa kita melihat aplikasi materi hanya ada materi saja, aplikasi gim hanya ada gim saja. Nah, di sini ada materi, ada gim bahkan juga ada qoutes motivasi dari para ahli,” kata Ridha.
Berkat inovasinya itu, tim sekolah Sukma Bangsa Pidie, yang diketuanya telah mengikuti lomba mobile Ki Hajar Dewantara 2017 yang dilaksanakan oleh Balai Pengembangan Multimedia Pendidikan dan Kebudayaan (BPMPK) di Semarang, Jawa Tengah.
Dalam ajang itu, aplikasi rancangan siswa Sukma Bangsa berhasil masuk dalam lima terbaik dalam lomba sains Ki Hajar Dewantara tersebut.
Ridha menambahkan, keberhasilan itu tidak lepas dari kejelian mereka melihat problema yang terjadi seputar pendidikan.
“Ada banyak probleman dalam dunia pendidikan, contohnya pelajaran kimia, yang susah mengingat senyawanya dan lainnya. Atas belakang itu, kami membuat sebuah aplikasi untuk menunjang pendidikan kimia,” terang Ridha.
Selain itu, melalui jalur siswa berprestasi ia juga telah lulus dan diterima ssebagai calon mahasiswa jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Sementara itu, salah seorang penerima beasiswa korban konflik dari Kabupaten Bireuen, Aceh, Miftahul Jannah, mengaku awalnya ia sebagai pribadi yang malas belajar bahkan jika berada dalam kelas ia sering menganggu temannya dan mencoret bukunya daripada fokus belajar.
Karena kenakalannyan itu, ia juga bahkan pernah terancam tidak naik kelas. Perlahan tapi pasti, perilakunya berubah sejalan dengan ia memperhatikan teman-temannya yang giat belajar.
“Teman-teman saya ketika belajar selalu memperhatikan gurunya. Lalu perlahan, saya coba metode mereka. Ketika belajar saya serius memperhatikan guru dan hasilnya mampu meningkatkan prestasi saya,” kata Miftah.
Selama 12 tahun mengenyam pendidikan di Sekolah Sukma Bangsa, kata Miftah, ia menikmati metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah tersebut. Bahkan, pendidikan dan pendekatan antara guru dan murid juga bebeda dengan sekolah lainnya.
“Sukma Bangsa itu mengasah kemampuan siswanya mulai dari nol, seperti mengasah kayu karena jika telaten dan diasah dia akan menjadi lemari serta meja, tentunya berguna,” sebutnya.
Miftahul Jannah, bersyukur bisa mendapatkan beasiswa penuh sampai 12 tahun. Pasalnya, ia berasal dari keluarga miskin di kawasan Kabupaen Bireuen.
“Saya sangat bersyukur dapat beasiswa, dulu hanya ayah yang bekerja, saat ini ibu juga sudah mulai bekerja membantu ekonomi keluarga, apalagi kakak sudah kuliah dan biaya sekolah adik-adik,” kata anak kedua dari 4 bersaudara ini.
Remaja kelahiran 11 Mei 2000, berkeinginan melanjutkan pendidikannya di jurusan teknik kimia. Keinginannya itu didasari atas riset yang sedang dilakukannya, yakni menciptakan BBM dari bahan alami.
“Saya sudah punya ide dan sedang melalukan riset, menciptakan BBM dari bahan alami. Makanya saya ingin mengembangkannya di kuliah nanti,” kata peraih nilai kimia tertinggi di Sukma Bangsa.
Selama 12 tahun dididik di sekolah Sukma Bangsa, banyak cerita yang menghiasi keseharian Miftah. Bahkan sekolah telah ia anggap sebagai rumahnya sendiri, pasalnya seluruh guru dan teman-teman sangat menyenangkan.
“Semua baik, guru-guru Sukma Bangsa bisa menjadi orangtua, mereka bisa menjadi teman. Sekolah ibarat rumah sendiri,” terang peserta Olimpiade Sains 2017 itu.
Siswa Korban Tsunami
Remaja jangkung itu, berjalan tergesa-gesa, memanggul tas hitam dan menjnjing sebuah kantong kresek di tangan kanannya memasuki Asrama Sekolah Sukma Bangsa.
Namanya Rasyid Akbar, ia merupakan penerima beasiswa 12 tahun di Sukma Bangsa.
Saat konflik dan bencana tsunami Aceh. Keluarga Rasyid ikut merasakan dampaknya. Bahkan saat tsunami, neneknya turut menjadi korban dan meninggal dunia.
Dengan latar belakang itu, Rasyid mendapatkan beasiswa. Selain itu, ekonomi keluarganya juga sangat memperihantikan. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan dengan penghasilan tak menentu.
Rasyid mendapatkan beasiswa bersekolah di SD Sukma Bangsa Bireuen.
Selama enam tahun, ia menghabiskan pendidikan dasar di kampung halamannya, Lhokseumawe.
“Saya dapat kabar beasiswa dari pak Geuchik (kepala desa). Karena keluarga saya korban konflik dan tsunami,” kata remaja kelahiran 19 September 1999 kepada Media Indonesia, Rabu (9/4).
Rasyid baru tiba dari kampung halamannya, setelah menikmati liburan usai Ujian Nasional (UN). Ia kembali lebih cepat karena ingin melakukan persiapan jelang hari wisuda pada Sabtu 12 Mei mendatang.
Rasyid melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Sekolah Sukma Bangsa Pidie. Katanya, budaya dan perilaku guru berbeda dengan sekolah lainnya.
“Guru berkualitas, bisa berteman baik dengan guru. Berbeda dengan sekolah lainnya, yang hanya fokus pada anak-anak pintar, seperti pilih kasih, kalau di sini kita smeua sama, tidak ada perlakuan khusus antarsiswa,” sebut anak pertama dari 4 bersaudara itu.
Bahkan, implentasi sifat kejujuran dibarengi dengan budaya 5 S di Sekolah Sukma Bangsa, yakni senyum, salam, sapa, sopan, dan santun. Menurutnya, itu penting agar siswa didik tumbuh dengan baik untuk menata masa depan.
“Saya ingin menebarkan virus itu ke orang-orang lain. Karena di sekolah lain, itu belum tentu ada, apalagi jika ketemu orang baru, pasti kita jarang senyum atau menyapa. Di sini, sikap 5 S bener-bener dipraktikkan, begitu juga kejujuran yang paling utama,” sebut peraih juara lomba baca puisi.
Meski tidak pernah meraih penghargaan di bidang akademik, dia sangat bertalenta di bidang seni. Selain aktif bermain teater, Rasyid kerap mewakili sekolahnya untuk berkompetisi di ajang baca puisi, baik tingkat lokal dan nasonal.
Kini Rasyid berkeinginan melanjutkan pendidikannya, ITB, UI, atau UGM. Pasalnya, ia berencana mendalami ilmu administrasi bisnis, sebagaimana cita-citanya ingin menjadi pebisnis.
“Saya kuliah jika dapat beasiswa, maunya kuliah di luar Aceh,” kata remaja yang tidak pernah merokok itu.
Setelah mengeyam pendidikan 12 tahun di sekolah Sukma Bangsa Pidie dan mendapatkan beasiswa penuh dari Yayasan. Kini mereka bersama 75 siswa sekolah Sukma Bagsa angaktan ke10 akan diwisuda tahun ini. (FD/OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved