Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
HINGGA saat ini kebutuhan pangan khususnya beras bagi masyarakat Kota Cimahi, Jawa Barat, masih tergantung pasokan dari luar daerah, seperti Kabupaten Bandung, Cianjur, dan Karawang.
Penyebabnya ialah sisa lahan persawahan hanya 137,14 hektare atau sekitar 3,34% dari total luas wilayah. Luas lahan persawahan itu dianggap belum cukup dalam memenuhi kebutuhan bagi 600 ribu lebih jiwa penduduk Cimahi. Setiap harinya Kota Cimahi membutuhkan 172 ton beras.
Wali Kota Cimahi Ajay M Priatna mengatakan alih fungsi lahan menjadi salah satu penyebab terus berkurangnya hasil panen beras lokal. Jika alih fungsi lahan tidak dicegah dari sekarang, Cimahi se-terusnya akan bergantung pada pasokan beras dari luar daerah.
"Dengan sisa lahan yang ada, tentunya harus dipertahankan. Salah satu upayanya dengan mengeluarkan peraturan daerah dan rencana detail tata ruang (RDTR) untuk 33,09 hektare lahan sawah," ujar Ajay, kemarin.
Dalam perda RDTR tersebut Pemkot Cimahi akan membuat lahan abadi seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Luas Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Data Dinas Pangan dan Pertanian Kota Cimahi menyebutkan lahan persawahan yang masih tersisa saat ini di antaranya ada di Kecamatan Cimahi Utara seluas 85,42 hektare, Kecamatan Cimahi Selatan 46,3 hektare, dan Kecamatan Cimahi Tengah 5,42 hektare. Dari tiga kecamatan tersebut, hanya bisa menghasilkan gabah sekitar 6 ton per hektare yang dipanen tiga bulan sekali.
"Dengan sisa lahan yang ada sekarang, tidak boleh ada lagi lahan yang dialihfungsikan, kecuali untuk kepentingan tertentu sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan undang-undang. Karena ini juga demi kepentingan bersama," tuturnya.
Upaya lain pemerintah dalam meningkatkan produksi beras ialah dengan mencoba melakukan pembebasan lahan. Agar hal itu bisa diwujudkan, Ajay meminta dukungan semua pihak.
Masih terkait ketahanan pangan, Pemkab Sleman bertekad mempertahankan status sebagai lumbung pangan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tekad itu salah satunya diwujudkan dalam komitmen menekan laju alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan nonpertanian.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman, Kunto Riyadi, menegaskan hingga Maret lalu, alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke nonpertanian sudah mencapai 7 hektare.
"Akan kami tekan agar jangan sampai melebihi 100 hektare selama 2018 ini," tegas Kunto.
Menurut dia, Sleman selama ini merupakan lumbung pangan bagi DIY dan ini harus tetap dipertahankan.
Berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah, dalam satu tahun diperbolehkan alih lahan pertanian seluas 100 hektare. "Namun, kami berkomitmen alih lahan pertanian ke nonpertanian maksimal seluas 80 hektare per tahun," katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman Suwandi Aziz mengatakan, sebagai langkah konkret lain saat ini sedang disusun raperda pengendalian alih fungsi lahan pertanian.
Jual ke tengkulak
Pada bagian lain, harga gabah di tingkat petani masih tinggi. Para petani enggan menjualnya ke tengkulak. Seperti di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, harga gabah kering panen dijual Rp4.400 per kilogram. Gabah petani ini masih menjadi rebutan para tengkulak. "Harga itu bisa meningkat jika cuaca membaik. Kami bersyukur harga gabah masih tinggi," terang Simanjaya, petani di Kecamatan Widang.
Hal yang sama juga terjadi di Pasuruan, Karawang, Tuban, dan Tasikmalaya. Harga gabah di beberapa daerah itu masih tinggi. Para petani menolak menjual ke Bulog.
(AU/YK/AD/LN/AB/CS/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved