Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
GUGATAN terhadap Instruksi Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogya-karta Nomor K.898/I/A/1975 Tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi dipastikan berlanjut.
Penggugat Gubernur DIY dan Kepala Badan Pertanahan Nasio-nal (BPN) DIY, Handoko, memastikan akan terus menempuh jalur hukum untuk menggugat aturan yang dinilai diskriminatif itu. “Saya sudah mengajukan ban-ding ke Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta,” kata Handoko di Yogyakarta, kemarin.
Handoko mengaku akan terus berjuang agar Instruksi 1975 yang diskriminatif tidak lagi diterapkan. Menurutnya, Instruksi 1975 tersebut bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia (HAM) karena membatasi hak kepemilikan tanah berdasarkan prinsip rasial.
Menurut dia, memori banding telah didaftarkan pada Rabu (28/2) dan teregistrasi di PT Yogyakarta dengan nomor 132/Pdt. G/2017/PN.Yyk. “Semoga dalam tiga bulan sudah ada putusannya,” katanya.
Handoko sudah beberapa kali menempuh jalur hukum. Mulai uji materi ke Mahkamah Agung (MA), gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, banding ke PTUN Surabaya atas putusan PTUN Yogyakarta, hingga kasasi ke MA atas putusan PTUN.
Yang terakhir ialah gugatan perdata tindakan melawan hukum karena Gubernur dan Kepala BPN DIY masih memberlakukan Instruksi 1975. Namun, majelis hakim di PN Kota Yogyakarta pada Selasa (20/2) menilai Gubernur DIY dan Kepala BPN DIY tidak melawan hukum meskipun memberla-kukan instruksi tersebut.
Komisi Nasional (Komnas) HAM sudah dua kali merekomendasikan untuk mencabut instruksi itu karena diskriminatif, yakni pada 2011 dan 2014.
Ombudsman RI (ORI) Perwakilan DIY menilai penolakan kantor pertanahan di DIY untuk menerbitkan sertifikat hak milik tanah bagi warga Tionghoa ialah tindakan malaadministrasi dan diskriminatif.
Kita usir
Sejumlah keluarga keraton dan masyarakat Yogyakarta, Kamis (1/3), berkumpul di kediaman cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Poerbokusumo. Selain kerabat keraton, pertemuan itu juga diha-diri budayawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun dan ratusan masyarakat serta warga Tionghoa.
Poerbokusumo meminta Handoko menghormati dan meng-ikuti Instruksi 1975. Kalau tidak, Poerbokusumo akan turun ke jalan menemui Handoko. “Kita akan turun ke jalan. Kalau perlu, kita akan usir dari Yogya-karta.”
Salah seorang adik Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, meminta Handoko menghentikan perlawanan.
Hadiwinoto mengatakan, kalau tidak setuju dengan aturan yang di Yogyakarta, Handoko diminta pindah dari DIY. “Saya mengingatkan kepada teman-teman Tionghoa, jangan cuma menuntut hak. Kamu hidup dan mati di sini. Kalau enggak mau, bisa hidup di luar Yogyakarta,” kata Hadiwinoto.
Salah seorang warga Tionghoa yang juga menjadi anggota DPRD DIY, Chang Wendryanto, berharap semua permasalahan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, bukan lewat jalur hukum. “Ayolah kita hidup damai,” kata Chang.
Chang berharap jangan sampai ada kejadian yang tidak diingin-kan. Chang tidak mempermasalahkan adanya Instruksi 1975. “Bagi saya tidak masalah, yang penting bisa hidup,” imbuhnya. (N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved