Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Batu Daging, Cendera Mata dari Pasar Mewah

(John Lewar/N-3)
02/1/2018 23:15
Batu Daging, Cendera Mata dari Pasar Mewah
(MI/JOHN LEWAR)

AMIR Masaini, 67, dan Mustafa Abraham, 71, berjalan menuju kawasan Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, akhir pekan lalu. Di kawasan itu, selain pemandangan yang cukup indah, juga ada hewan reptil komodo yang cukup populer di dunia. Tujuan kedua orang itu menyambangi taman nasional ialah ingin menunjukkan sesuatu yang sebelumnya belum dikenal wisatawan. “Ini namanya batu daging,” kata Mustafa sambil menunjukkan batu mirip irisan daging berwarna kemerahan dan ada warna kuning telur di tengahnya. Istilah batu daging ini diperkenalkan masyarakat di Pulau Rinca dan Pulau Papagarang.

Amir dan Mustafa menuturkan batu merah itu sudah ada sejak lama. Bahkan batu daging tersebut diyakini sudah ada sejak zaman purba. “Batu daging ini sudah ada sejak zaman es,” sambung Amir. Lokasi objek wisata batu daging ini persis di arah timur Pulau Rinca. Untuk menuju lokasi batu daging bisa menggunakan perahu atau kapal, sekitar 1 jam perjalanannya. Lokasi batu daging di savana timur pintu masuk selat Pulau Rinca. Jumlahnya cukup banyak dan tersebar di mana-mana “Mungkin ini dulunya daging hewan di zaman es dan membeku menjadi batu. Ini juga menjadi bukti bahwa jutaan tahun lalu ada hewan-hewan purba hidup di sini. Tapi ini semua membutuhkan penelitian lebih lanjut,” kara Mustafa.

Dia menambahkan batu daging ini merupakan simbol cendera mata orang purba. “Biasanya hewan untuk simbol ini,” tambahnya. Mustafa menjelaskan bahwa di lokasi ditemukan batu daging, tepatnya di Warloka, dulunya ditemukan benda-benda purbakala seperti moko, batu meja, tungku api, kursi batu, perunggu, dan altar tempat masyarakat Majapahit melakukan ritual. Warloka di era Kerajaan Majapahit sebagai tempat persinggahan para pedagang rempah-rempah dari Goa Sulawesi sebelum menuju Ambon. “Mereka (masyarakat Majapahit) kerap melakukan barter atau pertukaran barang.”

Dia menambahkan pada zaman Majapahit, sesuai cerita leluhur, sebelum melakukan kegiatan perdagangan, para bangsawan atau hulubalang melakukan perburuan di padang rumput Warloka. Perburuan itu meluas hingga Pulau Rinca. “Mereka berlayar dari Sulawesi menuju Labuan Bajo. Masyarakat Bajo menjadikan Warloka sebagai dermaga untuk berlabuhnya kapal-kapal pendatang. Saat itu Warloka merupakan pasar termewah di zamannya,” jelas Mustafa.

Selain orang Bajo, Warloka juga didatangi masyarakat Minang yang menyebarluaskan tradisi manggarak yang kemudian menjadi Manggarai. “Dalam bahasa Minang, manggarai berarti jangkar. Jadi tempat untuk membuang jangkar atau berlabuh,” sambung Amir.
Kedatangan orang-orang Bajo maupun Minang ini juga memengaruhi penduduk Manggarai saat ini. Selain penyebaran agama Islam, corak dan motif tenunan asli Manggarai sangat dipengaruhi suku Minangkabau, Bugis, dan Makassar. (John Lewar/N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya