Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Pembalakan Liar Marak di Rimbang Baling

RK/RF/N-3
11/12/2017 01:01
Pembalakan Liar Marak di Rimbang Baling
(ANTARA FOTO/FB Anggoro)

AKSI pembalakan liar kembali marak di Suaka Margasatwa Harimau Sumatra, Bukit Rimbang Baling, Kabupaten Kampar Kiri Hulu, Riau.

Kayu-kayu log berukuran besar setiap hari dihanyutkan di Sungai Subayang, selanjutnya diolah di beberapa sawmill (kilang penggergajian) sekitar kawasan itu.

Anggota DPRD Kampar, Arif Subayang, mengatakan pembalakan liar sangat marak terjadi di bagian hulu Sungai Subayang, persisnya di kawasan Ampalu, perbatasan Riau dan Sumatra Barat.

"Dari temuan kami, banyak sawmill liar yang beroperasi dan mengambil kayu dari hutan di hulu Sungai Subayang. Mereka warga Sumatra Barat yang sekarang mengambil kayu di Riau," ungkap Arif, kemarin.

Arif menyebutkan, keadaan serupa juga terjadi di Kampar Kiri Hulu yang berbatasan dengan Pangkalan, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Kayu-kayu hutan dikuasai cukong. Ia meminta aparat menindak para pelaku pembalakan liar itu.

Masih terkait dengan persoalan hutan, 60 desa di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung, dengan tegas menolak lokasi izin hutan tanaman industri seluas 60 ribu hektare di wilayah itu.

Asisten II Setda Pemprov Bangka Belitung, Budiman Ginting, mengatakan beberapa waktu lalu terjadi pro dan kontra soal HTI.

"PT Bangun Rimba Sejahtera (BRS) selaku perusahaan berkeinginan mengembangkan hutan tanaman industri. Kami selaku pemprov memfasilitasi pertemuan perusahaan itu dengan warga masyarakat, Jumat (8/12), dan ditanggapi seobjektif mungkin. Namun, terjadi pro dan kontra di situ," kata Budiman.

Suwarso, perwakilan mitra PT BRS, menyebutkan, sejak 2013 izin sudah diberikan pemerintah daerah, tapi sampai sekarang belum terealisasi.

Menurutnya, perusahaan memiliki program jangka panjang untuk perbaikan lingkungan, penyerapan tenaga kerja, dan menggerakkan roda ekonomi.

Namun, mayoritas warga desa menolaknya. Salah satunya Kades Teluk Limau, Haidir.

Pihaknya sudah beberapa kali melayangkan gugatan penolakan hingga mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup.

"Di desa kami Teluk Limau, 1 hektare hutan kami bagi atau dikelola empat kepala keluarga. Wilayah kami di pesisir. Kami bertanam sudah ke arah pesisir karena tidak ada lahan. Tiba-tiba masuklah PT BRS, kami mau kemana, jelas kami menolak," ujar Haidir.

Senada dengan Kades Teluk Limau, Kades Pelangas, Willy, menambahkan, dalam SK Menteri Lingkungan Hidup, disebutkan, jika selama tiga tahun tak ada kegiatan pada kawasan HTI, dengan sendirinya izin ini tak berlaku lagi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya