Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
KONFERENSI Waligereja Indonesia (KWI) secara tegas menyatakan bahwa hukuman mati yang digelar di Indonesia itu bertentangan. Gereja Katolik melalui Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) Migran Perantau KWI menolak kebijakan hukuman mati di Indonesia.
Penegasan itu disampaikan dalam Rapat Pleno KKP Migran Perantau KWI yang dihadiri pejabat KKP dari 36 keuskupan di Indonesia yang digelar di Kuta Bali mulai 11-15 September 2017.
Sekretaris Eksekutif KKP, Romo Siswantoko, saat ditemui di Kuta menjelaskan, rapat pleno KKP KWI mengundang anggota KKP dari seluruh uskup di Indonesia.
"Dari 37 keuskupan, ada 36 keuskupan yang dinyatakan hadir. Hanya satu keuskupan yang menyatakan tidak datang karena berbagai tugas internal yakni Keuskupan Sanggau Kalimantan. Sementara sisanya, 36 keuskupan mengikut rapat pleno KKP KWI. Mereka terdiri atas para pastor, rohaniwan, suster, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan umat katolik lainnya," ujarnya.
Adapun total peserta, kata Siswantoko, mendekati 100 orang dari seluruh keuskupan di Indonesia.
Menurutnya, rapat pleno KKP, Migran Perantau KWI mengambil tema 'Berani Menjadi Gereja yang Terluka dalam Beradvokasi'. Tema ini dijabarkan dalam beberapa subtema yang lebih spesifik dan menukik kepada persoalan nyata dalam kehidupan menggereja, berbangsa, dan bernegara.
Pertama, soal lingkungan hidup. KKP KWI dalam kajiannya melihat bahwa alam sudah mulai rusak, baik oleh bencana alam maupun oleh eksploitasi secara berlebihan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. KKP KWI sudah melakukan berbagai langkah nyata dalam menyelamatkan alam.
Kedua, human trafficking atau perdagangan manusia. Kasus ini justru menimpa kantong-kantong kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia. Anak-anak dari keluarga miskin direkrut kemudian dieksploitasi, dijadikan pekerja seks, atau pekerja yang tidak mendapatkan upah. Bali misalnya, saat ini sudah menjadi daerah tujuan dan transit untuk masalah perdagangan manusia.
"Contohnya banyak orang NTT, terutama dari Kupang, Flores yang akhirnya harus menjadi kuli dengan upah yang tidak layak. Mereka harus mendapatkan perhatian dan penanganan tersendiri," ujarnya.
Sementara ketiga, kekerasan yang cukup rawan baik secara horisontal antarmasyarakat dan oleh individu dalam masyarakat. Konflik ini bisa menimbulkan pertumpahan darah dan keresahan sosial dalam masyarakat.
Adapun keempat, bagaimana mengadvokasi seluruh persoalan yang disebutkan tadi dalam praktik nyata. Dari tiga masalah di atas sudah pasti akan ada yang menjadi korban. Bila sudah ada korban makan diperlukan advokasi. Gereja harus bersedia mengadvokasi berbagai persoalan sosial yang merongrong kehidupan masyarakat.
"Di sini lah peran gereja yang sesungguhnya bahwa gereja harus berani menjadi yang terluka dalam mengadvokasi orang atau korban. Tema ini terinspirasi dari Paus Fransiskus yang mengatakan, saya lebih senang gereja yang kotor karena pergi melayani orang daripada berdiam diri dalam gereja," ujarnya.
Menurutnya, selama ini KKP KWI fokus advokasi. Salah satunya dengan cara pelatihan paralega bagi, guru, ibu rumah tangga, dan siapa pun. Selama 3 tahun, ada 12 keukupan dan setiap pelatihan 40 orang. Sekali pun mereka tidak paham hukum, tetapi minimal para peserta paralega tersebut mengetahui bagaimana melakukan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Advokasi lain ialah kasus narkoba di PN Jakarta Barat. Kemudian kasus perkosaan anak di bawah umur yang terjadi Ruteng NTT, yang mana sudah diputuskan bersalah tetapi karena jaksa tidak mau mengeksekusinya, maka penjara 10 tahun tidak dijalankannya. Setelah diprotes hingga ke Jaksa Agung, pelaku akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Saat ini, KKP KWI sedang mengadvokasi penolakan hukuman mati. Ada beberapa alasan. Pertama, di mana pun dan dalam agama apa pun, hanya Tuhan yang berhak mengambil nyawa manusia, karena Tuhan lah yang memberikan nyawa kepada manusia.
Kedua, banyak pengadilan sesat yang dilakukan karena terjadi jual beli kasus dan pasal yang dikenakan karena uang bisa membuat segala-galanya termasuk jual beli pasal.
Ketiga, terkait dengan kejahatan narkoba, hukuman mati bukan solusi untuk mencegah praktik jual beli narkoba. Buktinya, narkoba tetap ada, dan bahkan fakta di lapangan narkoba malah dipasok dari penjara.
"Membunuh orang sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Ada cara lain yang lebih manusiawi namun efektif memberantas tindakan penyalahgunaan narkoba," ujarnya. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved