Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Riani di Antara Anak, Sawah, dan Ulos

(Januari Hutabarat/N-1)
01/8/2017 06:45
Riani di Antara Anak, Sawah, dan Ulos
(MI/JANUARI HUTABARAT)

RIANI boru Hutagalung, 45, harus menjalani berbagai profesi, dari ibu rumah tangga, petani, hingga penenun ulos. Karena itu, setiap hari Riani disibukkan mengurus kebutuhan lima anak-anaknya. Setelah itu, dia meninggalkan rumah menuju sawah. Seusai bersawah, pada petang hari hingga malam Riani menenun benang-benang untuk menjadi ulos. Selepas masa panen, ia untuk sementara tidak turun ke sawah dan lebih fokus menenun ulos, profesi yang dia jalani sejak 15 tahun silam.

Perjuangan Riani, warga Kecamatan Tarutung, Siatas Barita, Kabupaten Tapanuli Utara,-Sumatra Utara, semakin berat semenjak suaminya meninggal dunia sekitar 10 tahun silam akibat menderita kanker. Riani mengaku tetap harus bersawah dan menenun. Hasil panen dipakai menjadi stok beras, sedangkan hasil menenun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dia mengaku lebih kerap menenun ulos jenis sadum silindung (jenis ulos dari daerah Tarutung). Riani memerlukan dua hari penuh, siang dan malam, untuk menenun tiap helai sadum silindung berukuran 70 cm x 150 cm. Dari sehelai ulos tersebut, dirinya bisa mendapatkan Rp150 ribu.

Adapun modal yang dibutuhkan untuk bahan bakunya sekitar Rp30 ribu untuk tiap helai ulos. Modal itu dipakai untuk membeli benang berukuran sedang atau yang dalam bahasa Batak disebut bonang putar, benang halus atau bonang saratus, manik-manik atau simata, serta lem kanji. Marissa Cory Agustina Siagian dalam karya tulis berjudul Ulos Ragi Hotang dalam Perubahan (Potret Evolusi Kebudayaan Batak Toba) yang dimuat Jurnal Rupa Volume 01 Nomor 02, Juli-Desember 2016, menyebut ulos merupakan hasil peradaban suku Batak yang paling tua.

Dalam tulisan Marissa, ulos dalam bahasa Batak memiliki arti kata selimut sebab pada awal penciptaannya kain ulos digunakan sebagai selimut. Kemudian ulos menjadi lambang kehangatan dan simbol pemberian restu. Ahli sejarah tekstil asal Kanada-Belanda Sandra Niessen dalam berbagai kesempatan mengatakan kepunahan ulos tinggal menunggu waktu jika tidak segera diantisipasi.

Hal itu disebabkan beberapa hal, seperti ketiadaan regenerasi penenun ulos dan persoalan ketiadaan pasar. Ancaman terhadap keberlangsungan ulos, menurut penulis buku Legacy in cloth: Batak textiles of Indonesia itu, antara lain terlihat dari jenis ulos yang terus berkurang. Walhasil, ulos asli Batak banyak yang sempat berada di museum.

Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Tapanuli Utara Sartika Simamora mengaku berupaya membantu nasib para penenun ulos, seperti terkait jaminan harga jual dan kepastian menampung hasil produksi. Istri Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan itu juga mengaku kerap mengikutsertakan hasil kerajinan masyarakat ke berbagai pameran. Dia meyakini hasil tenun sadum silindung tidak kalah jika dibandingkan dengan hasil tenun daerah lainnya. (Januari Hutabarat/N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik