Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
ARIS Setyawan, 49, terpidana mati dalam kasus pembunuhan satu keluarga pada 1999 silam, Kamis (27/7), mengajukan sidang Peninjaun Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, setelah hampir 20 tahun menjalani hukuman tidak kujung dieksekusi.
Sidang PK dipimpin Ketua Majelis Hakim Ane Rusiana. Terpidana datang didampingi kuasa hukumnya, M Sholeh. Terpidana juga didampingi dua petugas Lapas Porong, Sidoarjo.
Dalam sidang ini, M Soleh menyatakan, argumentasi pemerintah menerapkan standar ganda soal hukuman mati. Di satu sisi, warga negara Indonesia yang dihukum mati di negara orang dibela supaya tidak dieksekusi.
"Bila perlu keluar uang untuk tembusan, kalau di negara lain. Sementara warga negara yang dihukum mati di negara sendiri tidak ada pembelaan sedikit pun dari pemerintah," katanya.
Apalagi, terpidana sudah 20 tahun menjalani hukuman tanpa ada kejelasan hingga sekarang. Pasalnya, ini menyangkut nasib manusia yang membutuhkan kepastian. Karena itu, pihaknya meminta majelis hakim bisa mengamulkan PK tersebut, agar terpidana mendapat kepastian hukum.
Dia juga mempersoalkan keputusan Mahkamah Agung yang memperkuat vonis Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi Jatim. Meskipun menyampaikan berbagai arguemntasi hukum, Jaksa Didik Yuda menolak pengajuan PK tersebut dan menyebut keputusan MA sudah tepat.
"Tidak ada yang salah dalam keputusan Mahkamah Agung, karena itu PK tidak perlu dilakukan, sebab tidak ada bukti baru," katanya.
Meski begitu, tahanan kasus pembunuhan satu keluarga 20 tahun lalu itu berharap pengadilan meninjau kembali vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.
"Saya berharap kebijaksanaan dari pemerintah, 20 tahun saya sudah jalani hukuman, belum tahu dihukum mati atau tidak," katanya.(OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved