Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
SUARA puluhan anak yang tengah belajar mengaji terdengar jelas dari Masjid Al-Amanah. Lantunan ayat suci hingga gelak tawa mereka senantiasa mewarnai suasana sore hingga malam hari di kawasan Gang Ruhana, RW 02 Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat.
Aktivitas di Masjid Al-Amanah itu sudah berjalan sejak tiga tahun silam, saat tempat ibadah tersebut didirikan Hanafi, warga setempat yang mewakafkan tanahnya untuk masjid.
"Asalnya ini dikontrakkan ke pengusaha rajut baju. Akan tetapi, sama Pak Hanafi kontraknya enggak diperpanjang, lalu dibangun masjid sejak 2014," kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Al-Amanah Bani Badruzaman.
Aktivitas di masjid senantiasa dipenuhi jemaah meski sebagian penduduk di lokasi tersebut bukanlah muslim. Sebagian dari mereka beragama Buddha dan lainnya nasrani.
Bahkan, lanjut dia, wihara dan gereja sudah hadir di tengah lingkungan itu puluhan tahun silam. "Wihara dan gereja sudah ada sejak 1940-an," ujar dia.
Lokasi wihara, gereja, dan masjid juga sangat berdekatan. Wihara dan masjid berhadap-hadapan. Hingga kini, masyarakat hidup rukun dan saling menghormati. Mereka tidak merasa saling terganggu oleh aktivitas keagamaan yang ada.
Justru, Bani merasa berterima kasih kepada tetangganya yang tidak seiman. Hal itu disebabkan, kata dia, sejak rencana pembangunan masjid, warga beragama lain telah memberi andil yang cukup besar.
Dukungan itu tidak hanya lisan. "Kalau kurang air, mereka menawarkan air untuk membangun masjid," ucapnya.
Hingga saat ini pun, kata dia, pengelola wihara dan gereja rutin memberi makanan untuk jemaah masjid seperti saat digelarnya Rajaban dan Maulidan. "Begitupun kami yang muslim, suka memberi makanan kalau lagi ada kegiatan," kata dia.
Ketua Pengurus Wihara Girimetta Hoi Gita Sagalan merasa bersyukur bisa merasakan suasana yang damai dan rukun tersebut.
"Saya diwarisi wihara ini oleh bapak saya, yang dulunya dari kakek saya. Saya sangat betah di sini," kata dia sambil menunjukkan ruangan di wihara tersebut.
Kakek berusia 66 tahun itu menuturkan, sejak puluhan tahun silam, kehidupan rukun dan damai berlangsung di kampung halamannya itu. Dia merasa memiliki keluarga baru yang berbeda darah dan keyakinan.
Sejak usia kanak-kanak, sambung Hoi, dia selalu bermain dengan teman-temannya yang muslim dan kristiani. "Jadi saya sangat fasih bahasa Sunda meski saya keturunan," ujarnya.(N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved