KUPI Keluarkan Hasil Musyawarah Keagamaan

Nurul Hidayah
27/4/2017 18:29
KUPI Keluarkan Hasil Musyawarah Keagamaan
(Peserta Konggres Ulama Perempuan Indonesia. Istimewa)

KONGRES Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan. KUPI menjamin hasil musyawarah tersebut sesuai dengan metodologi ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, KUPI yang pertama kali digelar di Indonesia, bahkan di dunia, dimulai dari 25 April hingga hari ini di Cirebon, Jawa Barat, telah mengeluarkan sejumlah hasil musyawarah keagamaan.

Hasil musyawarah keagamaan tersebut dibacakan dalam upacara penutupan oleh ulama perempuan dari Banjarmasin, Batam, dan Makassar.

Hasil musyawarah tersebut meliputi tiga, yaitu pernikahan usia anak, kekerasan seksual, serta kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial.

Dalam konteks pernikahan usia anak, setiap orang berwenang wajib hukumnya untuk mencegah pernikahan anak. Baik itu orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Selanjutnya, korban pernikahan anak pun berhak untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana hak anak-anak pada umumnya.

Dalam konteks pernikahan usia anak ini pula, KUPI merekomendasikan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama terkait umur minimal anak perempuan yang akan menikah. Dari sebelumnya 16 tahun dinaikkan menjadi 18 tahun.

Sedangkan bagi aparat yang berwenang juga diminta untuk tidak terlibat dalam pernikahan anak, tidak melegalkan pernikahan anak, serta membatasi isbat nikah atau dispensasi pernikahan anak.

Kementerian Informasi dan Komunikasi wajib untuk menutup konten yang mengandung pornografi yang bisa diakses oleh anak-anak. Juga disebutkan agar anak korban perkawinan di usia muda agar tetap bisa bersekolah dan sekolah dilarang untuk menolaknya.

Bahkan, jika ada anak yang hamil di luar nikah, orangtua juga diminta untuk tidak memaksakan menikahkan anaknya seperti solusi yang selama ini dilakukan sebagian besar orangtua.

Dalam konteks kekerasan seksual dengan segala bentuknya haram dilakukan, baik itu di luar maupun di dalam pernikahan. Jika terjadi pemerkosaan, maka yang terjadi ialah kejahatan berupa pemaksaan serta perzinahan. Sehingga hukuman bagi pelakunya yaitu akumulasi dari kedua hal tersebut serta dengan mempertimbangkan kemaslahatan warga.

Negara juga wajib untuk menjamin pemenuhan hak terhadap korban kekerasan seksual.

Untuk kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial, maka berdasarkan hasil musyawarah KUPI haram secara mutlak dilakukan. Pembangunan yang dilakukan harus tetap menjaga kelestarian alam. Karena manusia di dunia merpakan khalifatullah, yaitu wajib merawat dan menjaga keseimbangan ekosistem. Negara juga wajib menindak tegas perusak lingkungan.

Ketua Panitia KUPI, Badriyah Fayumi, menyatakan, hasil musyawarah keagamaan tersebut bisa disebut dengan fatwa. "Tapi kami lebih senang menyebutnya sebagai hasil musyawarah keagamaan KUPI," kata Badriyah.

Ia pun meyakinkan jika hasil musyawarah keagamaan dalam kongres ulama perempuan di Indonesia dan di dunia tersebut baik secara metodologi serta prosesnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Selanjutnya KUPI juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi umum bagi negara maupun ulama-ulama perempuan di Indoensia. Rekomendasi tersebut di antaranya agar ulama perempuan mendorong dan menyebarluaskan pemahaman bahwa dakwah tidak hanya keagamaan, tapi juga terkait kehidupan sosial.

"Mereka juga wajib secara aktif membangun Islam dari lingkungannya," kata Badriyah.

Tidak hanya itu, tempat ibadah tidak hanya dijadikan tempat ritual keagamaan, tapi juga pusat kegiatan sosial keagamaan di lingkungan masyarakat.

Sementara itu, Wakil Ketua DPD, GKR Hemas, yang juga hadir dalam penutupan KUPI di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, mengungkapkan, hasil musyawarah KUPI sangat menyejukkan hatinya.

"Sangat menyejukkan hati saya," kata Hemas.

Ini disebabkan proses partisipasi yang dolakukan serta didukung sepenuhnya oleh peserta yang hadir. Tidak hanya itu, hasil musyawarah KUPI juga sudah sesuai dengan agenda besar yang tengah dilakukan negara. Karenanya, Hemas menyatakan akan mendukung sepenuhnya hasil musyawarah yang dikeluarkan oleh KUPI.

Sedangkan Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Syaifuddin, menyatakan, terkait dengan konteks judicial review terhadap batas umur perempuan menikah, sebelumnya sudah pernah dilakukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Namun saat itu ditolak," kata Menag.

Lukman mengaku mendapatkan informasi jika hal tersebut merupakan kewenangan dari legislasi. Ini disebabkan, jika nantinya ada kebutuhan untuk mengubah batas bawah umur pernikahan di lain waktu, nanti tidak bisa dilakukan lagi.

Karenanya, lanjut Lukman, dirinya akan secepatnya berkoordinasi dengan Mengeri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menyusun legislasi review terkait batas usia pernikahan anak perempuan.

Karenanya Lukman juga meminta konsep dari KUPI untuk menyusun legislasi review tersebut. Selanjutnya, Menag juga menyambut baik kongres ulama perempuan yang digelar di Cirebon.

"Kongres ini luar biasa," katanya.

Karena sepenuhnya merupakan inisiatif dari kaum perempuan sendiri. Kongres yang pertama kali digelar di Indonesia, bahkan di dunia ini, juga berhasil memperjuangkan keadilan melalui kesadaran relasi perempuan dan laki-laki.

"Kongres ini juga mampu merevitalisasi kembali peran ulama perempuan sejak zaman Siti Aisyah," kata Lukman.

Melalui kongres ini pula dikumandangkan modernisasi Islam, Islam yang rahmatan lil alamin serta menebarkan kemaslahatan bagi sesama di dunia. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya