Nasib Petani Kayu Manis tidak Selalu Manis

(Denny Susanto/N-3)
26/4/2017 03:00
Nasib Petani Kayu Manis tidak Selalu Manis
(Aslan, petani kayu manis di antara hasil panen kayu manisnya di Malaris, Loksado, Kalimantan Selatan. MI/DENNY SUSANTO)

AWAN hitam terus menggelayuti langit di kawasan kaki Pegunungan Meratus. Pepohonan dan jalan desa di sepanjang lereng Balai Adat Malaris, Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, masih basah setelah diguyur hujan sepanjang malam. Namun, warga desa masih sibuk menghampar kulit-kulit kayu berwarna kuning kecokelatan di tepi jalan persis di depan rumah mereka. Kulit-kulit kayu itu berasal dari kayu manis yang tumbuh di Pegunungan Meratus. Selama berabad-abad suku Dayak Bukit Loksado, penduduk asli Pegunungan Meratus mengandalkan tanaman hutan kayu manis sebagai mata pencaharian utama. Selain memanen buah kemiri dan berladang, dan beberapa tahun terakhir sebagian warga mulai beralih dengan menanam karet. Sayang, kondisi musim penghujan seperti sekarang produksi karet menurun, di samping harga yang anjlok sehingga warga enggan menyadap.

Senasib dengan para petani di daerah lain, petani di kaki Pegunungan Meratus ini tidak semanis nama komoditas andalan mereka, kayu manis. Mayoritas warga masih hidup miskin. “Harga komoditas yang dihasilkan warga seperti kayu manis, karet, dan kemiri tidak menentu,” tutur Aslan, Kepala Kampung Malaris saat ditemui di rumahnya yang juga menjadi pusat pengumpulan produksi kayu manis warga Desa Malaris, akhir pekan lalu.

Aslan memiliki 2.000 pohon kayu manis yang jumlahnya terus berkurang karena ditebang. Jumlah pohon yang dimiliki Aslan masih banyak jika dibandingkan dengan petani lainnya yang rata-rata 100-200 pohon kayu manis. Tiap pohon bisa menghasilkan 20 kg-50 kg kulit kayu manis kering. Sistem panen kayu manis yang digarap masyarakat Dayak ialah sekali panen dengan cara ditebang. Sistem ini membuat jumlah pohon kayu manis di hutan semakin berkurang. Sistem panen kayu manis di Meratus berbeda dengan di Jambi. Sistem panen di Jambi petani hanya memanen sebagian kulit dan pohon tidak ditebang sehingga kelestarian pohon terjaga.

“Saat ini tanaman kayu manis di hutan semakin sulit dicari. Sekarang warga mulai menanam lagi tanaman kayu manis, tapi pohon itu baru bisa dipanen 10 tahun mendatang,” ucap Murjani, tokoh pemuda Desa Malaris. Harga kayu manis kering saat ini sangat menjanjikan, sekitar Rp28 ribu-Rp30 ribu per kg. Harga kayu manis terus naik setiap tahunnya. Jauh sebelumnya, harga kayu manis hanya Rp8.000-Rp10.000 per kg. Apalagi, kayu manis dari Malaris ini sudah dilirik pengusaha dari Semarang untuk diekspor ke Eropa. Beberapa tahun terakhir, budi daya kayu manis yang dilakukan warga lokal mendapatkan bantuan pemerintah daerah. Budi daya kayu manis dipusatkan di beberapa wilayah hutan balai adat Kecamatan Loksado. (Denny Susanto/N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya