Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Kembali ke Joran dan Pancing Ulur

Hera Khaerani
02/1/2016 00:00
Kembali ke Joran dan Pancing Ulur
(FOTO-FOTO: DOK. GREENPEACE)
DARI balik kemudi kapal, Rikson Tukan menatap laut dengan awas. Di kejauhan, sekawanan burung camar beterbangan. Dengan pengalaman panjang sebagai nelayan dari Huhate Larantuka, Flores Timur, Rikso paham bahwa di mana ada camar laut, maka ada lumba-lumba berenang di bawahnya. "Kalau ada lumba-lumba di bawah, berarti di bawahnya lagi ada cakalang," tuturnya dalam video yang didokumentasikan Greenpeace, beberapa waktu lalu. Saat itulah sebagian krunya akan sibuk menebar pakan ikan hidup yang telah dibeli dari bagan tempat budi daya ikan.

Lalu dalam sekejap, sepuluh pemancing di atas kapal itu disibukkan melempar kail dan benang pancing, menangkapi cakalang satu per satu. Para nelayan itu masih setia menggunakan metode pancing pole and line (huhate) yang sepintas terlihat sangat konvensional. Metode ini memiliki konstruksi sederhana, yakni terdiri dari joran (tongkat), tali pancing, dan mata pancing. Sebab itu pula produktivitasnya 'sederhana', tiap kali melempar pancing, hanya satu ikan bisa terkail. Metode yang mirip juga digunakan Saldin Bonelalu, seorang nelayan pemasok tuna dari Desa Wamlana, Kecamatan Fena Leisela, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Dia menggunakan pancing ulur (handline).

Kedua metode pancing itu berbeda dengan pukat cincin (purse seine fishing) yang menggunakan fish aggregation devices (FAD) yang disebar dan dibiarkan mengambang di dekat kapal. Penggunaan FAD meningkatkan peluang tertangkapnya hewan laut selain tuna. Bukanlah rahasia lagi, kapal penangkap tuna yang menebar jaring kerap turut menjaring kura-kura, lumba-lumba, pari, bahkan paus. Nelayan yang nakal biasa menanggap tangkapan yang tidak semestinya itu sebagai 'bonus'. Meski kalah produktif jika dibandingkan dengan pukat cincin, pancing huhate dan pancing ulur unggul dalam sisi lingkungan.

"Pole & line dan pancing ulur adalah cara pemancingan ikan yang ramah lingkungan dan tidak merusak karena keselektifannya menangkap tuna dewasa dan tidak adanya tangkapan sampingan seperti hiu, lumba-lumba, ataupun kura-kura," tukas Sumardi Ariansyah, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, di Jakarta, Kamis (17/12). Bersama Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI), Greenpeace bekerja sama untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab di Indonesia. Greenpeace dan AP2HI mendorong cara pancing paling kuno yang dilakukan nelayan di Tanah Air itu kembali banyak digunakan. Sebagai catatan, di Kabupaten Buru, Maluku, contohnya, nelayan sejak awal abad ke-16 sudah memancing dengan teknik huhate.

Tuntutan dunia
Dengan meningkatnya wawasan ramah lingkungan dan tuntutan keterlacakan sumber ikan dari konsumen di Eropa dan benua lain, metode perikanan yang ramah lingkungan lebih dihargai. Secara kualitas pun tangkapannya dianggap lebih baik. "Secara kasatmata terlihat hasil pole & line itu ikannya mulus, tidak putus ekornya seperti ditangkap dengan jaring, lalu ukurannya juga terjaga," jelas Sekjen AP2HI Agus Budhiman. Ia menambahkan tangkapan dari dua teknik pancing tersebut dihargai lebih mahal dengan selisih sampai US$300 per ton.

Ketua AP2HI Janti Djuari mengatakan sejak berdiri Maret 2014, asosiasi mereka kini beranggotakan 18 perusahaan, 8 di antaranya perusahaan penangkap ikan, 5 perusahaan pengolahan, 4 perusahaan pengalengan, dan 1 perusahaan di luar usaha penangkapan, pengolahan, dan pengalengan ikan. Semua anggotanya diikat dengan kode etik untuk memastikan keterlacakan sektor perikanan itu dari hulu hingga hilir. Salah satunya ialah dengan rutin melaporkan data kegiatan penangkapan, pengolahan, dan pemasaran ikan.

Saat ini, anggota AP2HI sekalipun tidak hanya menangkap dengan cara huhate dan pancing ulur. Mereka juga memisahkan kapal-kapal yang menangkap dengan jaring. Hal itu tidak terlepas dari persaingan yang berat dengan tangkapan kapal purse seine yang bebas menangkap tanpa pengaturan soal kuota ikan tangkapan. Tanpa regulasi, jelas mereka akan selalu kalah jumlah. Makanya mereka berharap pemerintah mendukung para nelayan dan perusahaan untuk kembali bergairah menggunakan teknik pancing huhate dan pancing ulur. Janti memaparkan di antara aturan yang menurut mereka perlu diberlakukan ialah kuota jumlah maksimal tuna yang boleh dipanen.

"Ini supaya persaingannya antara kapal purse seine dan pole & line dan handline tidak jomplang, sekaligus menjaga stoknya tetap sehat," tukas Ketua AP2HI itu. Agus juga menambahkan pengaturan perlu diberlakukan di sektor budi daya ikan, yakni ketentuan soal berapa banyak hasil budi daya untuk konsumsi dan umpan. Dia menerangkan pancing huhate dan pancing ulur amat dipengaruhi ketersediaan umpan berupa pakan ikan hidup. Ketika bagan budi daya ikan lebih memilih menjual panennya untuk konsumsi, mereka pun kesulitan. Nantinya, semua pengaturan pemerintah yang menunjang kegiatan pole & line dan handline di Indonesia itu terkait pula dengan prasyarat sertifikasi yang menjamin kualitas tuna, cakalang, dan tongkol ekspor kita diakui di luar negeri.(M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik