Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
RANCANGAN Peraturan Daerah (Raperda) Sistem Kawasan tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta siap disahkan dalam waktu dekat. Sayangnya, hak perokok tidak diakomodasi, seperti ruang khusus perokok yang tidak wajib disediakan.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sudah beberapa kali membuat aturan terkait dengan kawasan larangan merokok di ruang publik. Pertama, Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Lalu, Pergub Nomor 75 Tahun 2005 yang diubah dengan Pergub Nomor 88 Tahun 2010. Dua tahun berselang kembali keluar Pergub Nomor 50 Tahun 2012 yang bersifat pelaksanaan dari aturan sebelumnya. Payung hukum itu berisi pedoman pelaksanaan, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum kawasan larangan merokok.
Pada 2016, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta kembali membahas aturan serupa lewat Raperda Sistem KTR. Anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta Ahmad Nawawi mengutarakan tahun ini produk hukum itu siap disahkan menjadi perda.
“Tinggal diparipurnakan sebentar lagi. Sudah selesai dibahas tahun lalu. Kemarin (17/1) sedang rapat Bamus (Badan Musyawarah). Nanti akan keluar jadwal kegiatan kita (DPRD), termasuk soal legislasi,” terang Nawawi, kemarin.
Menurut Nawawi, perda itu mendesak untuk disahkan agar Perda Ketertiban Umum Nomor 8 Tahun 2007 bisa fokus ditegakkan. Di DKI Jakarta, sosialisasi area larangan merokok pada ruang publik sudah gencar dilakukan, baik melalui media massa maupun tulisan larangan merokok yang sengaja ditempel di area pembatasan. Hanya, pelanggaran masih marak karena selama ini sanksi tegas dari pihak terkait belum menyertainya. “Aturan larangan merokok di Perda Ketertiban Umum kan belum spesifik. Di Perda (KTR) nanti diatur lebih jelas,” katanya.
Sanksi tegas
Nawawi yakin jika Perda KTR sudah disahkan, penegakkan hukum jauh lebih mudah ketimbang sebelumnya. Sanksi akan diberikan, baik kepada masyarakat maupun pengelola kawasan. “Enggak perlulah kita mengimbau pemerintah daerah. Aturannya kan buat masyarakat. Silakan saja melanggar kalau mau kena hukum. Sanksinya nanti kita sosialisasikan setelah perda selesai disahkan,” tandasnya.
Ada beberapa poin penting yang termaktub dalam Raperda KTR. Pasal 41 ayat 2 menyebutkan sanksi berupa gugurnya layanan administrasi kependudukan yang berkorelasi dengan layanan kesehatan dan pendidikan, seperti pembatasan fasilitas BPJS dan KJS serta KJP.
Sanksi bagi pemilik tenant di pusat perbelanjaan ialah penyegelan jika ditemukan perokok di areanya. Pasal 23 ayat 1 dan 2 mengatakan larangan promosi yang memperlihatkan jenis, merek, warna, logo, dan wujud rokok.
Sayangnya, perda itu tidak mengatur kewajiban dalam hal penyediaan tempat khusus merokok. Dalam menanggapi itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai sanksi tersebut wajar. Longgarnya sanksi akan menyuburkan pelanggaran. “Contohnya busway, sudah ada aturannya tapi tetap banyak yang melanggar. Masalahnya sanksi sebelumnya tidak berat, tapi giliran (pelanggar) didenda Rp 500 ribu, sekarang kan jauh lebih tertib,” ujarnya.
Area khusus merokok, menurutnya, tidak perlu diatur. Biar bagaimana pun, hak masyarakat yang tidak merokok harus tetap dijaga. Kebijakan serupa juga sudah diterapkan di banyak negara. (/J-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved