Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
SIAPA pun yang memimpin Jakarta akan berhadapan dengan laju pertambahan kendaraan yang mirip curahan air. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya pada 2015, setiap hari pertambahan kendaraan baru menggunakan pelat nomor B berkisar 5.500-6.000 unit.
Rinciannya, kendaraan roda empat bertambah setiap hari sekitar 1.600 unit dan roda dua 4.000-4.500 unit. Bila dibariskan, untuk 1.600 unit kendaraan roda empat, akan memakan tempat sepanjang 7,360 km dengan ukuran panjang mobil 4,6 meter.
Lahan yang dibutuhkan per bulan untuk 1.600 mobil dengan hitungan 26 hari kerja sepanjang 191,360 km dengan lebar sekitar 2 meter. Untuk setahun, tinggal dikalikan 12, ketemu angka 2.296,320 km. Panjang lahan yang dibutuhkan itu lebih jauh daripada jarak Jakarta-Medan (1.936 km).
Ditambah dengan sepeda motor ukuran rata-rata 1,85 meter, butuh lahan sepanjang 2,775 km per hari. Sebulan 72,150 km dan setahun 865,900 km.
Bila mobil disejajarkan dengan motor, satu mobil disamakan dengan enam sepeda motor, ketemu angka 144,31 km.
Artinya, setiap tahun pertambahan kendaraan bermotor menggunakan pelat nomor B membutuhkan lahan sepanjang 2.440 km dengan lebar 2 meter. Terbayanglah betapa setiap tahun Ibu Kota dan kota penyangga semakin sesak oleh kendaraan.
Tidak mengherankan bila Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ataupun daerah sekitarnya kewalahan mengatasi kemacetan. Di Jakarta, sebagai pusat pemerintahan, beragam cara dilakukan untuk mengatasi kemacetan.
Mulai sistem 3 in 1, pemberlakuan pelat mobil ganjil-genap, hingga rencana penerapan sistem jalan berbayar (electronic road pricing/ERP).
Sistem ERP bukan solusi kemacetan, tetapi dipandang dapat mengurangi kesesakan kendaraan dengan memberlakukan biaya melewati jalan tertentu pada jam yang sudah ditentukan.
Kajian pemilihan sistem membutuhkan waktu selama 13 tahun sampai akhirnya Pemprov DKI lebih condong pada teknologi dedicated short range communication (DSRC) atau sistem komunikasi jarak pendek yang menggunakan frekuensi 5,8 GHz.
Kini, teknologi sudah ditentukan, tetapi ternyata penerapan ERP tak bisa cepat-cepat diberlakukan. Hal itu disebabkan penunjukan langsung jenis teknologi DSRC sebagaimana tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No 149 Tahun 2016 tentang Pengendalian Lalu Lintas Jalan Berbayar Elektronik dianggap tidak memberi kesempatan kepada perusahaan penyedia elektronik alternatif lain.
Gelagat adanya perlakuan baik dengan penunjukan langsung terhadap penerapan teknologi sistem komunikasi jarak pendek menggunakan frekuensi 5,8 GHz mendapat perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga tersebut mengundang Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta, Selasa (27/12/2016), untuk mencari jalan keluar. Namun, sampai saat ini putusan belum diterbitkan.
Dishubtrans menolak apabila Pergub No 149/2016 disebut mengandung unsur monopoli. Hal itu disebabkan Pemprov DKI hanya menunjuk langsung jenis teknologi, bukan menunjuk langsung perusahaan.
Memenuhi kebutuhan
Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik Dishubtrans Zulkifli mengatakan penunjukan teknologi DSRC sudah memenuhi kebutuhan guna mengurai kemacetan Jakarta. Jalanan Jakarta yang memiliki banyak simpang serta tingkat kepatuhan masyarakat yang rendah menjadi dasar pemilihan teknologi itu.
Dibutuhkan sistem berbayar supaya pemilik berpikir dua kali sebelum menggunakan kendaraan pribadi. Di sisi lain, penerapan ERP akan berhubungan dengan penegakan hukum sehingga dibutuhkan pula perekaman database melalui penangkapan gambar pelat nomor kendaraan.
“Sebetulnya kami tidak hanya menggunakan teknologi DSRC. Kami juga menggunakan kamera automatic number plate recognition (ANPR) untuk mengidentifiksi kendaraan,” tutur Zulkifli.
ERP diadaptasi Pemprov DKI Jakarta dari sistem di Swedia. Penggunaan teknologi DSRC tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2016 tentang Pengendalian Lalu Lintas Berbayar Elektronik.
Kepala Dishubtrans Andri Yansyah menyebut teknologi DSRC sudah digunakan 30 negara, di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jerman, Denmark, Tiongkok, dan Singapura.
“ERP ini sesuatu yang baru jadi tidak boleh coba-coba. Harus betul-betul teruji dan ada contohnya dipakai negara-negara lain. Teknologi yang sudah teruji itu adalah DSRC,” tegas Andri Yansyah.
Sebenarnya, banyak jenis alternatif teknologi yang bisa digunakan untuk penerapan jalan berbayar elektronik, di antaranya radio frequency identification (RFID) atau global positioning system (GPS) dan infrared. GPS bahkan sudah mendeteksi kendaraan ketika masuk jalan berbayar sebelum sampai ke pintu gerbang.
Masyarakat menunggu temuan KPPU, apakah pilihan Dishubtrans DKI sudah benar atau tidak. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved