SAMPAH akan terus menjadi persoalan di DKI Jakarta jika tak ditangani secara terpadu. Program pengurangan volume sampah menjadi keniscayaan dilakukan guna mengatasi masalah tersebut.
Sampah kembali menjadi masalah di Ibu Kota setelah kekisruhan antara Pemprov DKI Jakarta, DPRD Kota Bekasi, dan pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi. Persoalan kian rumit ketika truk-truk pengangkut sampah dari DKI dihadang warga Cileungsi, Bogor, saat menuju Bantargebang.
Pengamat tata kota Nirwono Joga mengatakan kesepakatan antara DKI, Kota Bekasi, dan Bogor mesti cepat dijalin kembali untuk mengatasi sampah di Jakarta. Namun, ada hal yang lebih penting, yakni bagaimana mengelola sampah secara berkelanjutan.
"Persoalan mendasar yang terjadi ialah masih digunakannya sistem yang lama, yakni pengumpulan, pengangkutan, pembuangan, dan sistem penumpangan sampah di TPST. Tidak ada satu pun dari hal-hal itu dapat menyelesaikan masalah sampah yang ada sekarang," ujarnya.
Nirwono menambahkan, tindakan utama yang harus dilakukan ialah menurunkan volume dan produksi sampah. Saat ini sampah di DKI sudah mencapai 6.700 ton per hari yang terdiri atas 60% sampah rumah tangga, 20% sampah perkantoran, 10% industri, dan 10% fasilitas publik. "Artinya kalau mau mengurangi sampah harus fokus dimulai dari pengelolaan sampah rumah tangga. Kalau berhasil, berarti sampah di Jakarta akan berkurang signifikan," tuturnya.
Ia meminta aparat RT sampai kelurahan proaktif mengedukasi warga menangani sampah rumah tangga. Pemerintah juga bisa menggencarkan program bank sampah sekaligus menjadi penampung atau penyalur hasil olahan sampah rumah tangga seperti kompos.
Faisal Rachman, 25, warga Grogol, Jakarta Barat, mengaku tak keberatan untuk memilah sampah yang dihasilkan keluarganya. Ia sadar, warga memang harus ikut berperan mengatasi persoalan sampah di Jakarta sekaligus untuk menambah penghasilan. "Ibaratnya sampah disulap jadi uang kalau ada yang bisa didaur ulang," tuturnya.
Berbeda dengan Nunung Nurlaela, 50, yang tinggal di Jatinegara, Jakarta Timur. "Malas, karena ribet. Ujung-ujungnya sama, tukang sampah kompleks tetap buang sampah ke kali dekat rumah."
Solusi sesaat Selain menjalin kembali kesepakatan dengan Kota Bekasi dan Bogor, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bertekad mengegolkan penggunaan teknologi intermediete treatment facility (ITF).
Teknologi itu sudah dipakai banyak negara maju dan tak meninggalkan bau jika sampah dari truk pengangkut segera dimasukkan ke mesin pembakaran bersuhu 1.000 derajat celcius.
Pemprov berencana membangun ITF di Sunter, Marunda, dan Cakung Cilincing, Jakarta Utara, serta Duri Kosambi, Jakarta Barat. Biaya pembangunannya mencapai Rp1,2 triliun per unit. Namun, Nirwono menilai teknologi secanggih apa pun termasuk ITF hanya akan meringankan masalah sampah dalam jangka waktu tertentu selama persoalan tidak diatasi dari hulu.
Sampah juga pernah menjadi masalah serius di Surabaya ketika tempat pembuangan akhir Keputih ditutup pada 2001. Sejak itu, Pemkot Surabaya terus berbenah termasuk ketika dipimpin Tri Rismaharini untuk mengelola sampah sekitar 1.200 ton sehari. Sampah yang jorok dan bau mereka menjadi kompos, pembangkit listrik, dan bahan bernilai ekonomis lainnya sehingga sampah tak lagi menjadi masalah pelik.
Pengelolaan mulai dari hulu juga dibuktikan oleh Singapura dan Swedia sebagai solusi paling jitu untuk mengatasi sampah. (Put/Arv/FL/X-9)