Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Bau Busuk Dianggap Parfum

Nelly Marlianti/Sri Cahya Lestari/J-1
07/11/2015 00:00
Bau Busuk Dianggap Parfum
(MI/RAMDANI)
IJAH, 52, kemarin, terlihat sibuk melayani pembeli yang makan di warung nasi kecil miliknya di Jl Pangadegan Timur, depan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Kalibata, Jakarta Selatan.

Matanya sesekali melihat ke arah truk-truk dan gerobak sampah yang mengangkut sampah menumpuk di TPS itu.

Sembari menghela napas, Ijah pun bergumam.

"Baunya lumayan juga ya, biasanya enggak seperti ini. Ini sampahnya memang lagi banyak karena tidak terangkut," ujarnya.

Konflik pengelolaan dan pengangkutan sampah ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, membuat sampah menumpuk di depan warung nasi Ijah.

Hembusan angin yang menerpa warung nasi miliknya itu mengantarkan aroma tidak sedap.

"Saya sudah anggap hal biasa karena memang warung ini di depan TPS. Namun karena lagi banyak-banyaknya (sampah), jadi mengganggu juga," kata dia.

Untuk menghibur diri dan pelanggannya, ia berseloroh, "Anggap saja bau parfum alami. Pokoknya kalau ada angin terus baunya nyampe ke sini, udah deh saya bilang saja bau parfum alaminya wangi sekali," kata dia sambil tersenyum.

Ijah berharap persoalan sampah itu segera selesai supaya ia bisa lebih nyaman.

Bau tidak sedap tidak hanya tercium dari warung Ijah. Dadang, 65, warga yang tinggal di dekat Kali Pesing Koneng, Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, juga harus menderita hal yang sama.

Pasalnya, kali tersebut penuh lumpur dan tercemar oleh limbah sampah.

"Akibat kali yang tercemar limbah dan lumpur, kalau musim kemarau air kali menguap dan bau menyengat," ujar Dadang.

Walau sudah beradaptasi dengan bau busuk sejak 1987, Dadang tetap saja mengeluhkan keadaan itu.

Pasalnya, warga bukan hanya terkena bau, lingkungan yang kotor pun kerap menyebabkan warga di sana terserang demam berdarah, kutu air, dan alergi karena kuman dari limbah kali.

Syaefullah, petugas yang sedang mengeruk lumpur di kawasan tersebut, mengatakan endapan lumpur berbau di kali itu mencapai 10 meter dalamnya.

"Kemarin malam, kami sudah mengeruk lumpur sebanyak 15 truk, tapi lumpur masih tetap banyak," ujarnya.

Keadaan yang sama juga dialami warga yang tinggal bersisian dengan Kali Mookervart di Jl Daan Mogot, Rawa Buaya.

Warga pun harus rela hidup dengan lingkungan yang buruk dan bau.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya