JARUM jam menunjuk tepat pukul 09.00 WIB, Sabtu (31/10). Telepon pusat komando (<>command centre) kantor Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Pusat di Jalan KH Zainul Arifin berdering. Seorang warga melaporkan kebakaran di kawasan permukiman di Jalan Kali Baru 5, Senen, Jakarta Pusat.
Petugas jaga segera melakukan cross-check ke nomor telepon pelapor yang sebelumnya sudah terdaftar guna memastikan kebenaran informasi itu. Setelah kebenaran dipastikan, informasi itu seketika disebar lewat saluran komunikasi handy talk (HT) ke seluruh petugas jaga.
Informasi tersebut juga diterima Sahrudin, petugas pemadam di Sudin Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Pusat dari HT yang terselip di pinggang kanannya. Ia langsung menuju ruang perlengkapan, dengan sigap menarik jaket dan helm pelindung api dan naik ke branwir.
Petugas memadamkan sisa api yang menghanguskan tiga rumah di kawasan Kebayoran Lama. Foto: MI/Arya Manggala
Sepanjang perjalanan menuju lokasi kebakaran, Sahrudin terus berharap tidak menemui kemacetan. Harapannya terkabul. Siang itu, branwir yang dinaikinya tiba di lokasi tidak sampai 30 menit.
Kobaran api bagi pria yang telah berprofesi sebagai petugas pemadam kebakaran sejak 1985 itu sudah dianggap sebagai teman sekaligus lawan. Dengan nyali besar, tanpa ragu, Sahrudin langsung mendekat ke titik api sembari menenteng selang dari kendaraan. Semburan air terus ia arahkan kobaran api yang hanya berjarak beberapa meter.
Bagi Sahrudin dan petugas pemadam lainnya, musuh terbesar saat bertugas, khususnya di jantung Ibu Kota, ialah lalu lintas. Hingga saat ini, persoalan tersebut masih menjadi momok dalam kecepatan penanggulangan dampak kebakaran.
"Sebenarnya sudah ada standar operasi yang namanya respond time bagi petugas (pemadam kebakaran) paling lama 15 menit. Namun, itu sangat susah untuk dijalankan. Masalahnya waktu kita di jalan saja sudah berapa lama ketemu macet," ujarnya. Laporan terlambat Hal lain yang menambah berat kerja petugas pemadam kebakaran ialah terlambatnya laporan ke petugas. Sering terjadi, korban dan warga di sekitar lokasi kebakaran lebih dahulu sibuk mengevakuasi barang-barang berharga ketimbang melaporkan peristiwa kebakaran.
Suasana kebakaran di samping Terminal Pasar Senen. Foto: ANTARA/ANDIKA WAHYU
"Biasanya laporan baru masuk setelah kebakaran terjadi beberapa menit. Seharusnya jika menemukan ada kebakaran, masyarakat langsung menghubungi petugas dahulu. Jangan api sudah terus tambah besar baru telepon (ke petugas pemadam kebakaran)," jelas Sahrudin.
Di samping menambah dampak kebakaran, langkah seperti itu dinilai kerap mengganggu mobilitas petugas pemadam. Pasalnya, barang yang dipindahkan digeletakkan begitu saja di tengah jalan. "Biasanya warga main taruh saja barang-barang dari dalam rumah sampai menutupi jalan. Kalau sudah begini, kan malah jadi mengganggu," tegasnya.
Berprofesi sebagai petugas pemadam kebakaran tidak hanya cukup memiliki rasa tanggung jawab tinggi, tapi juga kesabaran yang kuat. Mereka harus akrab dengan umpatan-umpatan korban dan warga sekitar lokasi kebakaran.
"Sudah biasa baru sampai ke lokasi peristiwa disoraki warga. Katanya yang datangnya lama lah, atau memadamkan (api) kelamaan. Biarpun itu sering bikin tambah panas telinga, kita sabar-sabarin aja dah," ucap Rahmadi, petugas pemadam lainnya.
Tak kalah menyakitkan ialah adanya isu penarikan ongkos atas biaya pemadaman yang dilakukan petugas. Padahal sering ditegaskan, seluruh masyarakat tidak perlu khawatir saat melapor atau setelah kejadian.
"Silakan laporkan saja kalau ada petugas pemadam yang tarik biaya. Kadang masih ada warga dalam atau luar (lokasi kejadian) yang malah memanfaatkan peristiwa. Imbasnya ke petugas lagi," tegasnya.
Meningkat Musim kemarau tahun ini bisa dibilang merupakan hari-hari yang sangat sibuk bagi Sahrudin, Rahmadi, dan petugas pemadam lainnya. Kebakaran terjadi silih berganti hampir di setiap wilayah Ibu Kota. Garangnya sengatan matahari sepanjang kemarau panjang yang melanda Indonesia, termasuk Ibu Kota, tahun ini membuat peristiwa kebakaran makin sering terjadi.
Hal itu diakui Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, Subejo. Menurut Subejo, dalam kurun waktu Januari sampai Oktober kejadian, kebakaran mencapai 1.328 dengan kerugian material sekitar Rp326 miliar. Perinciannya, Jakarta Timur 336 kasus, Jakarta Barat 311 kasus, dan Jakarta Selatan 309 kasus, Jakarta Utara 215 kasus, dan Jakarta Pusat 155 kasus.
Intensitas kebakaran tersebut jauh lebih tinggi ketimbang periode yang sama pada 2014 yang hanya 931 kasus dengan total kerugian mencapai Rp360 miliar.
Meningkatnya intensitas kebakaran itu, kata Subejo, tidak diimbangi ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Jumlah SDM yang dimiliki Disdamkartan DKI Jakarta saat ini masih jauh dari ideal, apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah dan kepadatan bangunan di Jakarta.
Subejo menambahkan, jumlah personel Disdamkartan DKI Jakarta dan jajaran sebanyak 2.878 orang. Dengan rincian petugas plasma 426 orang, petugas operasional 2.452 orang, kepala pleton 127 orang, kepala regu 743 orang, dan anggota sebanyak 1.582 orang.
"Idealnya jumlah personel Disdamkartan DKI Jakarta sekitar 5.000 orang untuk dibagi ke lima wilayah kota administrasi ditambah daerah Kabupaten Kepulauan Seribu," papar Subejo.
Karena itu, mengingat keterbatasan personel, kata Subejo, Disdamkartan DKI aktif melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di lingkungan permukiman, terutama lingkungan padat hunian. Disdamkartan DKI juga melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada warga masyarakat melalui perkumpulan ibu-ibu PKK, ormas, ke sekolah-sekolah, dan lain-lain.(SSr/J-4)