SITI Laela tidak pernah melewatkan satu hari libur pun untuk membatik. Dari ayunan tangannya, lahir lembar-lembar kain dengan berbagai motif batik khas Betawi seperti motif ondel-ondel, penari Jaipong, buah mengkudu serta buah ceremai yang saat ini sudah jarang sekali ditemui.
Bekal yang didapat dari pelatihan yang digelar Lembaga Kebudayaan Betawi itu menjadi modal Laela untuk berbisnis batik bersama lima saudaranya sejak 2012. "Saya ingin mengangkat nama daerah saya dengan batik khas Betawi ini," ujarnya saat ditemui, beberapa waktu lalu.
Sebenarnya membatik bukanlah hal baru bagi Laela. Generasi sebelumnya di keluarga Laela juga bekerja sebagai pembatik. Motif yang digoreskannya di lembar-lembar kain sebagian juga berasal dari ingatan Laela saat kecil.
Rumah batik yang dikelola Laela bersama saudara-saudaranya terletak di Jalan Terogong II Nomor 27, Cilandak Barat, Jakarta Selatan.
Selain bisa membeli langsung kain-kain dan pakaian batik, para pengunjung yang datang pun dipersilakan belajar membatik secara langsung dari perajin. "Pembeli juga bisa pesan secara khusus motif serta warna yang diinginkan tanpa biaya tambahan," kata Laela.
Untuk selembar kain batik cap berukuran 2,15 meter x 1,10 meter, harganya berkisar Rp150 ribu sampai Rp200 ribu. Sementara itu, untuk kain yang ukurannya lebih lebar yakni 2,50 meter x 1,10 meter dihargai Rp350 ribu hingga Rp450 ribu. Tergantung banyak warnanya.
Pesanan kain, kata dia, didominasi untuk kebutuhan berbagai institusi. Selain itu, ia memasarkan batiknya di UKM Cilandak Town Square dan Oleh-Oleh Jakarta.
Industri batik rumahan Laela bukannya tak ada sandungan. Hari Batik Nasional yang diperingati 2 Oktober, kemarin, menyisakan kekhawatiran baginya. Cara instan menuangkan motif batik melalui printing, menjadi pesaing berat produksi batiknya.
"Misalnya kalau ada pameran. Yang datang ke sana lebih suka beli pakaian jadi karena lebih murah. Kami bersaing dengan batik printing yang lebih populer di masyarakat," keluhnya.
Saat menanggapi kondisi tersebut, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra menjelaskan sebenarnya minat masyarakat terhadap batik Betawi meningkat.
Namun, kesempatan itu tidak diambil dengan baik oleh industri rumahan yang sebagian besar produksinya masih tradisional sehingga biaya produksi tinggi.
"Selama ini dukungan pemerintah masih jauh dari harapan. Seharusnya pemerintah daerah memberikan perhatian khusus karena mereka juga punya kemampuan yang sangat khusus," kata Yahya.(J-4)