LIBURAN keluarga berubah mencekam tepatnya 3 jam setelah lepas landas dari Bandar Udara Ibrahim Nasir, Pulau Hulhule', Republik Maldives, Minggu (30/8). Kaca pesawat Embraer Legacy 600 600 bernomor N600VC tiba-tiba retak saat menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Pesawat carteran itu berisikan pengusaha nasional Muhammad Jusuf Hamka bersama ketiga anggota keluarganya tiba-tiba mengalami rusak parah pada bagian kaca kokpit. Selain keluarganya, pesawat itu berisikan tiga awak pesawat yang terdiri dari pilot, kopilot, dan pramugari. "Teman saya yang menawarkan saya untuk menggunakan pesawat carteran ini untuk berlibur," ujar Jusuf ketika ditemui Media Indonesia dan Metro TV, pekan lalu.
Awalnya, Jusuf tidak mengetahui ada persoalan di pesawat milik perusahaan Hawker Pacific tersebut. Tiba-tiba ketinggian terbang pesawat buatan Brasil itu dalam waktu singkat berkurang. "Dalam kurang dari 10 menit, pesawat terus merendahkan terbangnya. Dari keterangan pramugari dan pilot sih dari 40 ribu kaki menjadi 10 ribu kaki di atas permukaan laut," papar Jusuf. Suara mesin yang awalnya meraung pun mendadak sunyi. Tidak lama berselang, terdengar suara retakan kaca dari bagian kokpit pesawat. Setelah itu, baru ada pengumuman dari kabin mengenai ada kerusakan pada bagian kaca kokpit sebelah kanan. Kapten sempat terkena serpihan kaca, dan diberikan pertolongan pertama oleh pramugari.
"Mendadak ada bunyi kaca retak yang diikuti suara mendesis seperti mesin kopi. Mendadak peringatan menggunakan seat belt menyala dan pintu kokpit ditutup. Ada juga terasa semilir angin," ungkap Asisten Presiden Direktur PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) itu. Jusuf menuturkan, pesawat hendak mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma sekitar pukul 21.00 WIB. Pesan emergency untuk mendarat pun, lanjut Jusuf, sudah pilot disampaikan ke air traffic control (ATC) saat mendekati Bandara Halim, tetapi tidak mendapat respons. Karena itu, jelas Jusuf, pilot bersiap mendarat mengingat kondisi pesawat yang rusak parah. Ketinggian pesawat disesuaikan dengan standar pendaratan. Roda pesawat juga sudah dikeluarkan.
"Mungkin di ketinggian tinggal 10 meter di atas landasan, pesawat batal diberi izin mendarat. Malah ATC menginstruksikan pesawat kembali naik, lantaran ada pesawat VVIP (very very important person) yang akan mendarat," ungkap Jusuf. Mendapat perintah dari ATC, jelas pria yang dikenal sebagai pelopor pembangunan tol di Indonesia itu, pilot kembali menaikkan ketinggian pesawat dan menjauh dari kawasan bandara. Jusuf menghitung sekitar enam kali mengitari kawasan Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, karena pesawat hanya bisa berputar-putar menanti izin mendarat. Menurut Jusuf, kapten sudah meminta alternatif untuk mendarat di Bandara Soekarno-Hatta atau Pondok Cabe, tetapi tidak diberikan izin. Itu sebabnya, pesawat berputar-putar di langit Jakarta.
Pilot pun menerapkan prosedur kedaruratan, termasuk menggunakan tabung oksigen bagi seluruh penumpang dan awak pesawat. Pada 21.42 WIB, roda pesawat akhirnya bisa menempel di aspal bandara. Jusuf pun terkejut ketika pintu pesawat dibuka. Mereka disambut oleh ambulans, pihak bandara, dan juga pemadam kebakaran. "Di situ saya baru sadar, ternyata bahaya juga kondisinya," katanya. Dia menyayangkan tidak ada bagian operasional bandara yang menjelaskan mengenai kejadian itu. Pihak ground handling hanya mengatakan, ada kesalahan koordinasi antara pilot dan ATC. "Saat landing, kapten marah-marah, mukanya merah sambil bilang, 'This is emergency, SOS, international law is more important than VVIP'," ujarnya.
Seorang pegawai Angkasa Pura II yang bertugas mengatur note time kedatangan pesawat VVIP menegaskan, institusinya tidak memiliki kewenangan mengatur siapa yang harus didahulukan saat situasi seperti itu, emergency atau VVIP. Menurut pegawai yang tidak bersedia disebutkan identitasnya itu, kapasitas Angkasa Pura II hanya membuat note time dan ranahnya ada di darat, sementara wilayah udara merupakan kewenangan Airnav Indonesia. "Iya, saya tahu pesawat itu mengalami retak kaca depan saat berada di atas Pekanbaru. Mungkin saat itu tidak bisa mendarat di bandara terdekat lantaran tidak ada bandara internasional. Halim kan bandara internasional, Pekanbaru dan Palembang lagi banyak asap, jadi tidak beroperasi. Sementara, kalau Soekarno Hatta biasanya penuh," jelas dia.
Menurutnya, Captain Rafael Rodriquez pun sempat mengatakan akan memerkarakan kasus ini. Sebab, kondisi emergency tidak tunduk di bawah aturan penerbangan pemerintah Indonesia, melainkan hukum internasional. Menilik Surat Edaran Direktur Perhubungan Udara Nomor SKEP/188/VII/2006, penerbangan VVIP bagi Presiden RI, Wakil Presiden RI, dan Kepala Negara Pemerintahan Asing memang harus diprioritaskan. Untuk itu, operasional bandar udara dinyatakan tertutup untuk kegiatan penerbangan sipil. Ketentuan tersebut diterbitkan melalui notam expected delay dengan ketentuan 30 menit sebelum keberangkatan dan 15 menit setelah pesawat udara VVIP berangkat.
Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, pesawat VVIP harus mengalah dengan pesawat yang sedang kondisi darurat. Berdasarkan Pasal 72 Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 Tahun 2001, pesawat udara dalam keadaan darurat penerbangan berhak mendapatkan prioritas pelayanan lalu lintas udara. Pemberian prioritas pelayanan lalu lintas udara tersebut didasarkan atas laporan keadaan darurat penerbangan dari kapten penerbang atau personel pesawat udara lainnya.
Pemandu lalu lintas udara wajib mengambil tindakan dalam batas wewenangnya, yang diperlukan untuk menjamin keselamatan pesawat udara yang mengalami keadaan darurat dari pengguna jasa pelayanan lalu lintas udara lainnya. Saat hendak dikonfirmasi oleh Media Indonesia, General Manager Airnav Bandara Halim Perdanakusuma Ef Oktavian menolak memberi keterangan. Menurutnya, insiden tersebut sudah diserahkan kepada pihak Airnav Pusat. Direktur Standard and Safety Airnav Indonesia Wisnu Darjono mengklaim pihak ATC sudah memberi alternatif pendaratan sejak kapten menyatakan emergency untuk menurunkan ketinggian dari 40 ribu kaki ke 10 ribu kaki saat memasuki wilayah Indonesia, tepatnya di Kepulauan Pagai, Kabupaten Nias, Sumatra Utara.
"Dia (pesawat) melewati sejumlah bandara yang bisa digunakan untuk mendarat. Ada Bengkulu, Palembang, Soekarno-Hatta, dan Halim. Namun pesawat (kapten) tetap meminta ke Halim. Saat bersamaan, di Halim ada VVIP (pesawat Kepresidenan). Menurut aturan, kalau ada VVIP maka pesawat lain harus dipinggirkan. Di sini letak masalahnya. Saat VVIP dan emergency ketemu, siapa yang didahulukan? Jika ukurannya hidup dan mati, emergency didahulukan. Namun persoalannya, pesawat masih bisa mendarat di Bengkulu, Palembang, dan Soekarno-Hatta. Sedangkan pilot ingin mendarat di Halim. Jadi kesannya, dia (pesawat) masih memungkinkan untuk menunggu saat pesawat VVIP mendarat," papar dia.
Bandara Halim Perdana Kusuma memiliki kekhasan khusus. Seperti three in one, ada tiga entitas yang beraktivitas di bandara ini. Selain digunakan sebagai bandara sipil, juga digunakan untuk kegiatan kenegaraan termasuk Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk Pangkalan TNI-AU. Semua itu menggunakan satu tower pengendali. Wisnu mengaku tindakan yang diambil pilot sudah tepat. Secara teori, ketika kaca pesawat pecah, pilot harus menurunkan ketinggian pesawat hingga 10 ribu kaki untuk menyesuaikan tekanan di dalam kabin dengan udara di luar. Setelah 10 ribu kaki, manusia sudah aman mendapatkan oksigen.
Keputusan derajat emergency pun sepenuhnya berada di tangan pilot. "Pilot yang berhak mengatakan harus mendarat atau masih memungkinkan terbang sampai tujuan. ATC hanya menyediakan opsi. Selanjutnya, pilot akan memperhitungkan, apakah harus mendarat segera mungkin atau bertahan. Saat kejadian itu, ATC Halim sudah memberikan opsi tapi pilot meminta langsung mendarat di Halim. Ketika kedatangan, kebetulan berbarengan dengan VVIP," kata dia.
Wisnu menambahkan, permasalahan ini sudah diselesaikan melalui nota kesepahaman (joint statement), yakni pilot bisa menerima penjelasan pihak ATC. "Awalnya, pilot komplain. Namun, ketika sudah diberikan penjelasan sudah tidak ada masalah. Saya tidak mendapat informasi kalau pilot marah-marah," tukas Wisnu. Komandan Pangkalan TNI-AU Halim Perdanakusuma (Danlanud) Kolonel Pnb Umar Sugeng Hariyono menegaskan, saat itu pihaknya sudah meminta pilot mendarat di bandar udara terdekat. "Saat kami sudah mengarahkan untuk mendarat di bandara terdekat karena kaca retak itu terjadi di Bengkulu. Jadi yang terdekat di Bengkulu atau Palembang," kata Umar. Bahkan, dia menilai, pesawat carter itu tidak mematuhi aturan karena memaksa untuk tetap mendarat di Halim Perdanakusuma.
Persoalan diselesaikan Persoalan pesawat carteran Jusuf Hamka 'diselesaikan' dalam nota joint statement yang ditandatangni sejumlah pihak, di antaranya Direktur AFM Aviasi Wando Suripto, Captain Rafael Rodriquez, dan manajer operasi Hawker Pasifik Alex Jacob, pada 2 September. Pada nota kesepakatan tersebut ditegaskan, pilot dan perusahaan induk Embraer Legacy 600, Hawker Pasifik yang berkantor pusat di Singapura, tidak akan menuntut kepada ATC dan akan membantah pemberitaan media terkait kerusakan pada kaca kokpit sehingga menyebabkan masuknya angin ke kabin pesawat. Saat dikonfirmasi, Alex menolak berkomentar karena sudah dimutasi dari jabatan sebelumnya.
Direktur Operasi Hawker Pacific Jure Lenarcic, hanya menjawab melalui surel, "Kesalahan komunikasi dan permasalahan kerusakan pesawat sudah ditangani pihak yang berwenang. Manajemen Perusahaan Hawker Pacific tidak bisa berkomentar lebih banyak terkait masalah ini." Pramugari pesawat, Asi, juga mengaku tidak bisa memberi keterangan. Saat dihubungi Media Indonesia, Asi mengaku sedang bertugas ke Australia bersama Rafael.
"Kapten belum mau berkomentar. Saya pun tidak diizinkan untuk memberikan keterangan karena hanya seorang pramugari (flight attendant) dan tidak mengetahui persoalan teknis," ungkapnya. Dan setelah penandatanganan perjanjian itu, pesawat itu bisa masuk ke dalam hanggar untuk proses perbaikan yang dimulai pada 4 September. Setelah proses reparasi selesai, pada hari itu juga pesawat meninggalkan Jakarta.