Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Preman Bertindak, Petugas hanya Teriak

MI
30/9/2015 00:00
Preman Bertindak, Petugas hanya Teriak
(MI/PANCA SYURKANI)
KESEMRAWUTAN lalu lintas di perempatan jalan antara Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Kebon Kacang 1, dan Jalan Kebon Jati, Tanah Abang, tidak ada matinya. Tidak terlihat petugas Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta di jalan itu. Hanya terdengar petugas berbicara dan berteriak melalui pengeras suara dari Posko Terpadu Dishubtrans tak jauh dari titik perempatan. Petugas Dishubtrans lainnya terlihat hanya duduk-duduk di bawah posko.

Justru yang mencolok ialah pak ogah alias pengatur lalu lintas liar. Mereka berupaya 'mengurai' keruwetan di antara puluhan kendaraan yang berlalu lalang di sana. Gie, salah satu pak ogah di lokasi, mengatakan mereka turun ke titik itu mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIB. Kemacetan terparah biasanya terjadi pukul 13.00-16.00 WIB.

Dalam bekerja, mereka tergabung dalam sebuah tim terdiri paling banyak 15 orang. Namun, Gie mengaku tidak ada yang mengoordinasi kelompoknya. "Ini buat sendiri aja, enggak ada yang koordinasi," ujarnya.

Dalam sehari, mereka rata-rata memperoleh Rp30 ribu sampai Rp60 ribu per orang. "Kalau kita sekali turun ada 4 orang, nanti hasilnya digabung terus dibagi 4. Kalau yang turun 3 orang, ya kita bagi 3," ungkapnya.

Menurut Gie, yang tamat SMA pada 2012, petugas Dishubtrans jarang mengatur lalu lintas. "Mereka membiarkan kemacetan yang ada. Mereka hanya mengontrol dari menara. Kami enggak pernah ditegur," jelasnya.

Dadang Sukandar, pengendara mobil boks yang biasa melewati perempatan itu, mengeluhkan keberadaan pak ogah, sebab mereka mengatur berdasarkan siapa yang menyodorkan uang lebih dulu. "Mereka enggak peduli dengan kelacaran lalu lintas," lanjutnya.

Untuk satu kali lewat di perempatan itu, ia memberi uang Rp2.000. Jangan memberi uang Rp500 sebab langsung dibuang mereka.

Dadang juga mengeluhkan kinerja petugas Dishubtrans DKI yang hanya berteriak melalui pengeras suara dari posko, karena tidak membantu kelancaran lalu lintas. Apalagi petugas di lapangan tidak tegas.

Hal berbeda diungkapkan Irul, sopir angkot APB JP 03 jurusan Roxy-Bendungan Hilir yang kerap mengetem di perempatan itu. "Mending lah ada yang teriak-teriak. Daripada berdiri doang. Kan ada yang berdiri doang, tapi enggak mengatur," katanya. Namun, dia terganggu dengan pengatur lalu lintas liar di sana. Apalagi, setiap mengetem dia dikutip Rp2.000 untuk satu kali mengetem. "Saya yang panas perih, nungguin penumpang, buang bensin. Mereka yang dapat duit."

Menurut Irul, penghasilan mereka sangat besar. Per orang dalam 3 jam bisa mendapat Rp300 ribu. Itu sudah dipotong Rp70 ribu, untuk setoran ke komandan-komandan mereka.

Kepala Posko Terpadu Tanah Abang Dishubtrans DKI Jakarta Sulaiman mengatakan kewenangan mereka untuk menindak orang-orang di lapangan terbatas. "Tempat mengetem angkot itu banyak premannya. Potensi konflik tinggi. Kita persuasif saja. Kalau kriminal, kita lapor polisi." (Raden Bremana Endratenaya/J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya