Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Nelayan tidak Keberatan Asal Dapat Pemukiman

MI
03/10/2016 09:30
Nelayan tidak Keberatan Asal Dapat Pemukiman
()

EDI masih terlelap di balai bambu depan warung kopi saat Media Indonesia berkunjung. Kain sarung coklat lusuh melilit pinggangnya mengikuti lekukan tubuh Edi yang tidur melingkar.

Udara pagi di kampung nelayan Blok Eceng, Muara Angke, Jakarta Utara, tak membuatnya bangun dari tidur meski suara kokok ayam dan mesin kapal laut saling bersahutan. Baginya kampung nelayan itu sudah berada pada titik perubahan yang tidak bisa ditawar lagi.

Sekitar empat tahun silam, pagi di Muara Angke menjadi suasana yang paling gaduh dan sibuk. Para nelayan berlalu lalang mengangkut berpuluh kilo ikan hasil tangkapan semalaman di laut untuk ditimbang di pengepul. Rata-rata mereka dapat mengantongi Rp500 ribu per orang.

“Dulu suasana kampung ini tidak sepi seperti sekarang. Mana bisa pagi begini masih tidur, ngopi santai. Sekarang saja bisa begini karena nelayan sudah jauh berkurang. Banyak yang mencari kerja ke tempat lain menjadi tukang becak atau berdagang,” tutur Edi.

Salah satu petugas industri pengemasan ikan di Muara Karang, Naim, mengakui, ikan yang masuk ke pelelangan saat ini kebanyakan datang dari luar laut Jakarta. Hal ini dikarenakan semakin sedikitnya tangkapan nelayan lokal serta jaminan kesehatan ikan lebih baik yang dari laut luar Jakarta.

“Sekarang ikan datangnya dari luar Jakarta. Jam segini nih (00.00 WIB) kapal dari Bali akan merapat dan bongkar pukul 08.00. Ikannya sudah dikemas di peti dalam keadaan beku dan selanjutnya dibeli untuk ke pelelangan,” sebutnya.

Bram, pedagang di Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke mengatakan ikan dari laut Jakarta sudah sulit dicari. Kebanyakan ikan yang beredar berasal dari Malang, Merauke, Bali dan laut Kalimantan.

Sehubungan dengan masifnya pemberitaan seputar reklamasi, Edi sambil menyeruput kopinya berterus terang tidak pernah ikut-ikutan berdemo menolak reklamasi.

“Kami tidak menolak reklamasi jika pemerintah juga memikirkan kami. Kami mau sekali dipindahkan ke rusun di pulau baru. Tapi apakah benar begitu, kami tidak jelas informasinya. Katanya hanya kepada karyawan yang bekerja di pulau baru nanti," cetus pria yang sudah belasan tahun berprofesi sebagai nelayan itu.

Hasyim, nelayan lainnya yang ditemui di warung kopi itu, menuturkan jumlah nelayan asli Jakarta saat ini sudah jauh berkurang bukan karena merasa terancam oleh proyek reklamasi. Hal itu disebabkan oleh kondisi laut yang tercemar parah.

“Apalagi kalau hujan. Limbah yang mengendap di dasar laut jadi naik ke permukaan. Ikan sembilang yang warnanya abu-abu telah berubah menjadi hitam karena limbah,” jelasnya.

Hasyim tidak menapik kondisi laut Jakarta semakin mengkhawatirkan karena limbah terus bertambah. Tangkapan ikan turun 80%. Sekarang paling per orang dalam satu kelompok cuma kebagian 5 - 12 kilogram.

“Kalau dulu bisa sampai 30 kilogram per orang. Sering pula dapat kakap merah atau putih. Sekarang ini, kalau pun dapat kakap, ikannya sudah mati sehingga tidak layak konsumsi,” paparnya.

Ia mengakui para nelayan saat ini galau karena belum mendapatkan kejelasan seputar kelanjutan kehidupan mereka di Muara Angke. "Terutama bagi kami nelayan asli Jakarta, perlu ada penjelasan tentang reklamasi dan hubungannya dengan kami."

Jika reklamasi benar-benar dilaksanakan, kata Edi, tuntutan nelayan tidak muluk-muluk. Mereka bisa tinggal di rumah gratis dan mendapatkan lapangan pekerjaan dengan penghasilan sama seperti melaut selama ini sudah sangat disyukuri. "Kami harapkan pemerintah tidak melihat ijasah pendidikan ketika memperkerjakan kami," lanjutnya dengan tersenyum.(Sru/Nat/T-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya