Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
ASURANSI seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman. Mudah mengurus klaim saat dibutuhkan. Sayangnya tidak selalu demikian. Hal itu seperti yang dialami pengendara yang memiliki Asuransi Bhakti Bhayangkara (ABB) saat kecelakaan. Jangankan mengajukan klaim, menghubungi perusahaan asuransi yang berdiri sejak 1 Juli 1987 itu pun sulitnya minta ampun. Pengalaman Abdul, 30, warga Tebet, Jakarta Selatan, misalnya. Ia pernah mengalami kecelakaan roda dua pada 2013, yang membuat tulang pergelangan kaki kanannya retak. Lukanya telah diobati hingga sembuh dengan bantuan dari perusahaan swasta tempatnya bekerja. Namun, Abdul masih membutuhkan biaya tambahan untuk ongkos ke rumah sakit selama menjalani rehabilitasi. Ia pun mencoba mengajukan klaim ke ABB. Sekitar satu bulan keluar dari rumah sakit, ia menghubungi nomor kontak yang ada di kartu ABB miliknya. Berkali-kali nomor kontak tersebut dihubungi, berkali-kali pula tiada jawaban di ujung telepon sana. "Untuk menghubunginya saja melalui telepon sulitnya minta ampun. Jangankan dijawab, diangkat pun tidak teleponnya," kenang Abdul kepada Media Indonesia, Rabu (28/9).
Lalu ia berinisiatif bertanya ke kepolisian, bagaimana proses mengajukan klaim ABB. Infonya harus ada surat keterangan berita kecelakaan dari kepolisian. Padahal, setelah kecelakaan, ia tidak melaporkan peristiwa tersebut. Apalagi, peristiwanya sudah satu bulan lebih telah berlalu. "Keharusan surat berita acara kecelakaan dari kepolisian itu susah. Surat tersebut biasanya akan langsung dibuat berdasarkan laporan warga dan polisi yang langsung tiba di lokasi kejadian," terangnya menirukan penjelasan polisi. Sulitnya klaim, jika dibanding dengan jumlah klaim yang dikeluarkan ABB, patut mendapat sorotan. Dalam laporan keuangan triwulan pertama 2016 yang didapat Media Indonesia dari situs ABB, beban klaim hanya mencapai Rp2,59 miliar. Padahal, pendapatan dari premi mencapai Rp13,7 miliar. Angka itu hanya naik sedikit dari periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni di saat pendapatan premi sebesar Rp11,3, miliar tetapi beban klaim hanya Rp1,9 miliar.
Ada kondisi-kondisi tertentu yang berada di luar tanggungan ABB, yakni kecelakaan yang diakibatkan bunuh diri, perkelahian, huru-hara, mabuk, melanggar lalu lintas, olahraga berbahaya, pendakian gunung di atas 2.500 meter, serta jika pengendara memiliki alergi atau terjangkit HIV/AIDS. Hingga berita ini diturunkan, pihak ABB belum dapat dihubungi untuk dimintai konfirmasi dan penjelasan atas kecilnya klaim yang dicairkan jika dibandingkan dengan pendapatan yang begitu besar. Terlebih lagi hal yang patut dijelaskan ialah unsur kewajiban pengendara mendaftarkan diri menjadi peserta ABB ketika membuat SIM. Media Indonesia yang menyambangi kantor pusat ABB di Jalan Faletehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari petugas di sana. Malah, kantor dengan tiga lantai tersebut tampak sepi. Tak ada hiruk pikuk peserta asuransi yang hendak mengajukan klaim ataupun berkonsultasi.
Padahal, kepersertaan ABB terkesan diwajibkan saat warga mengurus SIM. Tentunya ada saja yang mengalami kecelakaan dan mengurus klaim. Suasana hilir mudik warga yang mengurus klain bisa terlihat di sana. Terlebih lagi produk asuransi ABB tidak hanya Asuransi Kecelakaan Diri Pengemudai (AKDP), ada juga produk lainnya seperti Asuransi Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga (ATJHK), Asuransi Kendaraan Bermotor, Asuransi Konstruksi, Asuransi Rangka Kapal, Asuransi Harta Benda, dan lainnya. Hanya beberapa karyawan berseragam batik yang keluar masuk dari kantor yang berdekatan dengan Terminal Bus Blok M tersebut. (Put/J-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved