Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
JIKA Stefanus Leander bisa hidup kembali saat ini, tentunya dia akan marah besar. Hal itu disebabkan
jembatan bersejarah yang dirawatnya semasa hidup kini ditelantarkan Pemerintah Kota Depok.
Jembatan kukuh yang berdiri di atas Kali Ciliwung di Jalan Tole Iskandar itu seperti sengaja dibiarkan merana hingga akhirnya roboh sendiri dimakan waktu.
Dibangun pada 1917 oleh seorang insinyur bernama Andre Laurens, Jembatan Panus menjadi salah satu cikal-bakal berdirinya Kota Depok. Nama Panus diambil dari nama Stefanus Leander yang ditugaskan menjadi juru rawat jembatan itu.
Leander ialah salah satu keturunan ke-12 marga budak Cornelis Chastelein, seorang bekas tenaga pembukuan VOC yang menjadi pendiri Kota Depok.
Di masa keemasannya, sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda hingga pertengahan 1990-an, Jembatan Panus menjadi urat nadi transportasi di selatan Jakarta. Ia menjadi satu-satunya jembatan penghubung dari Depok ke Jalan Raya Bogor di Simpangan.
Jembatan itu juga menjadi pemantau naik-turunnya debit air kiriman dari Bogor di musim hujan karena di kaki jembatan yang kukuh berdiri itu, terdapat tiang ukur ketinggian air.
Namun, sejak pembangunan jembatan baru berkerangka besi yang berdiri persis di sampingnya pada 1990-an, lambat laun Jembatan Panus mulai ditinggalkan. Jembatan baru itu lebih lebar sehingga pengendara kendaraan bermotor lebih suka menggunakannya.
Jembatan Panus pun mulai jarang digunakan. Di bagian atas, jembatan itu kini digunakan warga sebagai tempat pembuangan sampah. Rumput-rumput liar juga memenuhi badan jalan jembatan.
Kondisi di bawah pun tak kalah mengenaskan. Dua kaki jembatan yang terbuat dari beton mulai retak-retak dan lapisan dindingnya mengelupas. Sampah-sampah yang tertahan di kaki jembatan dibiarkan menumpuk.
Retorika perbaikan
Ketua Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Kota Depok Valentino Jonathan mengatakan lembaganya terpaksa memasang spanduk di Jembatan Panus karena kondisinya sudah mengenaskan.
“Kami terpanggil untuk memasang tiga spanduk, sebab tak ingin jembatan itu roboh apalagi sampai menelan korban jiwa,” kata dia.
Pemasangan tiga spanduk itu, sambungnya, sekaligus sebagai bentuk protes kepada pemerintah khususnya Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane (BBWSCC), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Pemerintah Kota Depok.
Valentino mengatakan 3 spanduk dipasangnya di dua titik, 2 spanduk di jembatan dan 1 di ujung jembatan di Jalan Tole Iskandar, tepatnya dekat kompleks Vila Nopo.
Ferdi Jonathans selaku pengurus bidang aset dan sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, menambahkan Jembatan Panus akan menggenapi usia 100 tahunnya pada 2017 nanti. Namun, belum mencapai usia satu abad, Jembatan Panus justru terancam roboh.
Menurut Ferdi, Panus tak kunjung diperbaiki kendati kondisinya sudah mengenaskan. “Saya sempat ikut Musrenbang Maret 2016, perbaikan Jembatan Panus sudah dimasukkan ke perencanaan kota. Namun, hingga kini rencana perbaikan itu hanya retorika,” ujarnya.
Saat dihubungi di kesempatan terpisah, Kepala Dinas Bina Marga Sumber Daya Air (BMSDA) Kota Depok Manto Jorghi mengatakan perawatan Jembatan Panus bukan menjadi tanggung jawabnya, melainkan kewenangan Balai Bisar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC). “Bukan tanggung jawab kami untuk memperbaikinya,” kata dia. (J-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved