Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Jembatan Panus yang kian Tergerus

Kisar Rajagukguk
16/9/2016 06:50
Jembatan Panus yang kian Tergerus
(MI/BARY FATHAHILAH)

JIKA Stefanus Leander bisa hidup kembali saat ini, tentunya dia akan marah besar. Hal itu disebabkan

jembatan bersejarah yang dirawatnya semasa hidup kini ditelantarkan Pemerintah Kota Depok.

Jembatan kukuh yang berdiri di atas Kali Ciliwung di Jalan Tole Iskandar itu seperti senga­ja dibiarkan merana hingga akhirnya roboh sendiri dimakan waktu.

Dibangun pada 1917 oleh se­orang insinyur bernama Andre Laurens, Jembatan Panus menjadi salah satu cikal-bakal berdirinya Kota Depok. Nama Panus diambil dari nama Stefanus Leander yang ditugaskan menjadi juru rawat jem­bat­an itu.

Leander ialah salah satu keturunan ke-12 marga budak Cornelis Chastelein, seorang bekas tenaga pembukuan VOC yang menjadi pendiri Kota Depok.

Di masa keemasannya, sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda hingga pertengahan 1990-an, Jembatan Panus menjadi urat nadi transportasi di selatan Jakarta. Ia menjadi satu-satunya jembatan peng­hubung dari Depok ke Jalan Raya Bogor di Simpangan.

Jembatan itu juga menjadi pemantau naik-turunnya de­bit air kiriman dari Bogor di musim hujan karena di kaki jembatan yang kukuh berdiri itu, terdapat tiang ukur ketinggian air.

Namun, sejak pembangunan jembatan baru berkerangka besi yang berdiri persis di sam­pingnya pada 1990-an, lambat laun Jembatan Panus mulai ditinggalkan. Jembatan baru itu lebih lebar sehingga pengen­dara kendaraan bermotor lebih suka menggunakannya.

Jembatan Panus pun mulai jarang digunakan. Di bagian atas, jembatan itu kini diguna­kan warga sebagai tempat pem­buangan sampah. Rumput-rumput liar juga memenuhi badan jalan jembatan.

Kondisi di bawah pun tak ka­lah mengenaskan. Dua kaki jembatan yang terbuat da­ri beton mulai retak-retak dan lapisan dinding­nya mengelupas. Sampah-sampah yang ter­tahan di kaki jembatan di­biarkan menumpuk.


Retorika perbaikan

Ketua Yayasan Lembaga Cor­nelis Chastelein (YLCC) Kota Depok Valentino Jonathan me­ngatakan lembaganya terpaksa memasang spanduk di Jembatan Panus karena kondisinya sudah mengenaskan.

“Kami terpanggil untuk memasang tiga spanduk, sebab tak ingin jembatan itu roboh apa­lagi sampai menelan korban jiwa,” kata dia.

Pemasangan tiga spanduk itu, sambungnya, sekaligus sebagai bentuk protes kepada pemerintah khususnya Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane (BBWSCC), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Pemerintah Kota Depok.

Valentino mengatakan 3 spanduk dipasangnya di dua titik, 2 spanduk di jembatan dan 1 di ujung jembatan di Jalan Tole Iskandar, tepatnya dekat kompleks Vila Nopo.

Ferdi Jonathans selaku peng­urus bidang aset dan sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chas­telein, menambahkan Jembatan Panus akan menggenapi usia 100 tahunnya pada 2017 nanti. Namun, belum mencapai usia satu abad, Jembatan Panus justru terancam roboh.

Menurut Ferdi, Panus tak kun­jung diperbaiki kendati kon­disinya sudah mengenaskan. “Saya sempat ikut Mus­ren­bang Maret 2016, perbaik­an Jembatan Panus sudah di­masukkan ke perencanaan kota. Namun, hingga kini rencana perbaikan itu hanya retorika,” ujarnya.

Saat dihubungi di kesempat­an terpisah, Kepala Dinas Bi­na Marga Sumber Daya Air (BM­SDA) Kota Depok Manto Jor­ghi mengatakan perawat­an Jembatan Panus bukan men­ja­di tanggung jawabnya, melain­kan kewenangan Balai Bisar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC). “Bukan tang­gung jawab kami untuk mem­perbaik­inya,” kata dia. (J-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya