Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Ribuan Rumah Tangga Kandas Tiap Tahun di Jakarta

Yanurisa Ananta
16/9/2016 01:45
Ribuan Rumah Tangga Kandas Tiap Tahun di Jakarta
(MI/RAMDANI)

PEMEO sekejam-kejamnya ibu tiri tidak sekejam Ibu Kota ada benarnya. Hal itu tecermin dari tingginya angka perceraian di wilayah DKI Jakarta. Data Pengadilan Tinggi Agama (PTA) DKI Jakarta menyebutkan angka pengajuan gugatan cerai dari tahun ke tahun meningkat. Jumlahnya mencapai belasan ribu dalam satu tahun. Pada periode 2014 tercatat ada 15.935 perkara cerai yang diajukan. Dari jumlah tersebut, 10.401 perkara yang dikabulkan. Pada periode 2015 tercatat 15.930 pengajuan gugat cerai yang diterima seluruh pengadilan agama di lima wilayah DKI Jakarta. Dari jumlah tersebut, 9.836 perkara yang dikabulkan. Angka perceraian pada 2014, jika dibandingkan dengan di 2015, memang mengalami penurunan. Namun, jumlahnya tidak signifikan. Pengajuan cerai pada 2015 hanya turun lima perkara ketimbang di 2014. Begitu pula dengan jumlah perkara cerai yang dikabulkan, hanya berkurang 565 perkara. Soal tingginya pengajuan gugat cerai di Jakarta, hakim tinggi A Choiri mengatakan hal itu disebabkan kehidupan perkotaan yang kian kompleks. Saat pendapatan dan pendidikan seseorang terbilang tinggi, terutama pada perempuan, mereka akan lebih berani untuk meminta pertanggungjawaban pasangan jika dinilai tak bertanggung jawab.

Di samping itu, ungkap juru bicara PTA DKI Jakarta itu, kondisi ekonomi yang tidak mencukupi dan pendidikan yang rendah juga berisiko menjadi penyebab perceraian. Artinya, perceraian bisa dialami perkawinan pasangan dari kelas ekonomi menengah ke atas atau menengah ke bawah. "Saat ini pendidikan wanita yang lebih maju menjadikan wanita lebih berani untuk meminta pertanggungjawaban dari suami tatkala suaminya tidak melaksanakan rukun-rukun perkawinan sebagaimana yang diatur undang-undang," jelas Choiri kepada Media Indonesia, Selasa (13/9). Hal itu terlihat dari banyaknya jumlah istri yang mengajukan gugatan cerai (cerai gugat) ketimbang gugatan suami (cerai talak) dari tahun ke tahun. Pada 2014 tercatat 11.474 kasus cerai gugat, sedangkan kasus cerai talak sebanyak 4.461 kasus. Angka cerai gugat meningkat pada 2015 menjadi 11.523, sedangkan cerai talak sebanyak 4.407 perkara.

Alasan cerai
Dari seluruh kasus perceraian di Jakarta, ada tujuh kategori mengapa mereka mengajukan gugatan perceraian, di antaranya masalah moral (termasuk poligami tidak sehat), krisis akhlak dan cemburu, meninggalkan kewajiban (termasuk kawin paksa), urusan ekonomi, serta tidak ada tanggung jawab dari salah satu pasangan. Pada 2015 mayoritas gugatan perceraian di Jakarta disebabkan salah seorang pasangan meninggalkan kewajiban batin atau lahir. Dari lima wilayah pengadilan agama di Jakarta tecatat 1.685 perceraian disebabkan hal itu. Kasus itu paling banyak terjadi di Jakarta Timur yakni 716 kasus. “Di 2015, kasus perceraian di Jakarta Pusat lebih banyak disebabkan tidak ada tanggung jawab pasangan. Begitu juga dengan Jakarta Timur dan Selatan, masing-masing 716 kasus dan 585 kasus,” jelas Choiri.
Lebih lanjut Choiri menjelaskan kebanyakan kasus perceraian di Jakarta Utara disebabkan persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tercatat pada 2015 ada 349 kasus menyakiti mental dan 299 kasus menyakiti jasmani. Berdasarkan himpunan data Pengadilan Tinggi Agama dari 2014 sampai Juni 2016, Jakarta Timur menjadi wilayah dengan tingkat perceraian tertinggi, di posisi kedua Jakarta Selatan, disusul Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat. "Biasanya warga Jakarta bercerai pada usia pernikahan ketiga dan kelima. Rata-rata usia perceraian terjadi pada usia kepala tiga atau empat," kata Choiri.

Beradaptasi
Psikolog keluarga dari Universitas Indonesia, Rose Mini, berpendapat kehidupan yang serbamodern tidak selalu mudah. Masyarakat bisa terbebani untuk bisa memenuhi tuntutan dan perkembangan zaman. "Kehidupan serbamodern di kota besar bisa terlihat mudah, padahal kenyataannya tidak sebab kita dituntut untuk serbacepat dan sempurna. Itu justru bisa membawa beban tersendiri bagi tiap-tiap individu," kata wanita yang akrab disapa Bunda Mini itu ketika dihubungi Media Indonesia, Rabu (14/9). Jakarta sebagai ibu kota negara, menurut Mini, hingga kini belum ramah terhadap warganya. Justru semakin galak dengan kompleksitas permasalahannya. Adaptasi, menurut Mini, menjadi kunci utama yang harus ada pada diri warga Jakarta. Kehidupan serbamandiri dan mudah saat belum menikah tidak boleh terus terbawa hingga ke rumah tangga. Agar mampu beradaptasi, faktor yang berperan ialah tingkat pendidikan. Pendidikan tetap penting untuk bisa memahami perubahan yang ada dengan lebih baik sehingga proses adaptasi yang dilakukan mampu membawa ke arah yang diinginkan. "Saling membicarakan perubahan-perubahan yang terjadi baik eksternal maupun internal antara suami dan istri sangat membantu. Bila yang satu berubah, yang lain harus mengikuti dengan ikut berubah. Pola adaptasi ini harus dimiliki satu sama lain," tuturnya. Put/J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya