Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Menuju Keluarga Samara lewat Suscatin

(Beo/J-1)
16/9/2016 01:00
Menuju Keluarga Samara lewat Suscatin
(MI/RAMDANI)

PUSINGNYA menyiapkan resepsi, gedung, hingga katering untuk sebuah pesta pernikahan seperti sudah menjadi kegiatan wajib para calon pengantin masa kini. Persiapan dibuat sematang dan serinci mungkin karena banyak yang berpikiran bahwa pesta pernikahan itu hanya diadakan sekali seumur hidup. Karena itu, apa salahnya merayakan pernikahan dengan pesta yang berkesan?"Betul, tidak ada yang salah, tapi persiapan pesta itu adalah urusan ke sekian. Hal yang paling penting ialah persiapan mental calon pengantin, sudah siapkah mereka mengarungi biduk rumah tangga hingga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah (samara)? Jadi, pernikahan itu bukan soal seberapa mewah pestanya," ungkap Kepala Subdit Pemberdayaan Kantor Urusan Agama (KUA) Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Adib Machrus dalam perbincangan beberapa hari lalu. Ia menuturkan tingginya angka perceraian, bahkan trennya terus meningkat dari tahun ke tahun, di Jakarta menunjukkan masih rendahnya pemahaman pasangan suami-istri akan sebuah lembaga perkawinan. Rendahnya pemahaman itu makin diperparah lemahnya kesiapan mental para pasangan sehingga keputusan bercerai menjadi jalan pintas dari penyelesaian persoalan rumah tangga."Seharusnya sebelum menikah, para calon pengantin itu sudah memiliki kematangan mental. Salah satunya dengan cara mengikuti kursus calon pengantin (suscatin) yang digelar di setiap KUA. Di situ ada pembekalan menghadapi lika-liku perkawinan," terang Adib.

Suscatin mulai diperkenalkan sejak 2010. Bahkan, mulai 1 Januari 2016, setiap calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan diwajibkan terlebih dulu memiliki sertifikat kursus pranikah sebab sertifikat itu menjadi salah satu persyaratan untuk bisa mendapatkan surat nikah dari kantor agama. Sayangnya, sambung Adib, suscatin yang ada saat ini berlangsung sangat singkat. Paling lama 2 jam. Alhasil, sedikit sekali pembekalan yang diberikan kepada calon pengantin, kalau tidak mau disebut sebagai formalitas belaka. Padahal materi yang diberikan sangat banyak, antara lain seputar tata cara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami dan istri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga, dan psikologi perkawinan dan keluarga."Nah, itu semua dipadatkan dalam waktu 2 jam, apa efektif itu?" tanya Adib. "Sekarang kami sedang susun panduan untuk suscatin yang baru. Rencananya mau dibuat pertemuan selama 16 jam yang dibagi dalam dua hari. Namanya tidak akan menggunakan kursus lagi, tapi lebih ke bimbingan perkawinan. Konsep materinya nanti mengenai parenting, penyelesaian masalah, dan juga misalnya soal hubungan jarak jauh," tuturnya.

Namun, apa pun namanya nanti, lanjut dia, inti dari bimbingan perkawinan bukanlah soal menghilangkan angka perceraian, melainkan bagaimana caranya suami-istri dapat menyelesaikan tiap masalah rumah tangga dengan kepala dingin. Suscatin model baru itu rencananya diterapkan mulai tahun depan. Nantinya, tidak hanya KUA yang bisa menyelenggarakan bimbingan perkawinan, lembaga-lembaga yang kompeten di bidang itu juga dibolehkan menjadi penyelenggara. "Informasi yang saya dapat, direktorat yang mengurusi agama selain Islam juga akan menerapkan hal yang sama. Sebagai tahap awal, bimbingan perkawinan itu akan kami uji coba di beberapa provinsi yang angka perceraiannya cukup tinggi, termasuk Jakarta," ujar Adib.Untuk memastikan program itu bisa berjalan baik, Kementerian Agama telah menyiapkan dana sebesar Rp1,8 triliun untuk operasional. Dana itu dipakai untuk membayar honor para penghulu yang menjadi pemateri saat bimbingan berlangsung, termasuk pengadaan sarana dan prasarana."Jangan dilihat besarnya biaya, tapi lihat biaya itu sebagai investasi. Negara mengeluarkan uang untuk bisa menjamin pernikahan setiap pasangan. Balik modalnya ialah negara tidak perlu mengeluarkan uang dengan percuma hanya untuk menanggung nasib anak telantar atau membiayai anak yang putus sekolah karena konflik orangtuanya," tutupnya. (Beo/J-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya