Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

KDRT Picu Perempuan Gugat Cerai

(Nic/J-3)
16/9/2016 00:45
KDRT Picu Perempuan Gugat Cerai
(MI/RAMDANI)

KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) selalu diasumsikan sebagai kekerasan fisik, yang berupa penganiayaan. Anggapan itu tidak salah memang, hanya kurang pas. KDRT, menurut pengertian dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Indonesia, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Di antara keempatnya, kategori kekerasan fisik paling sering terjadi, diikuti kategori kekerasan seksual, psikis, kemudian penelantaran rumah tangga. Di antara keempatnya, sebetulnya jenis kekerasan psikislah yang paling sering terjadi di dalam kehidupan rumah tangga. "Kekerasan psikis itu, misalnya, ketika istri direndahkan suami, tapi dia menoleransinya karena kultur masyarakat kita masih sangat permisif dengan hal-hal seperti ini," jelas Ketua Komnas Perempuan Indonesia, Azriana, kepada Media Indonesia, kamis (15/6). Pihaknya, ungkap Azriana, mencatat ada 5.596 kasus KDRT yang berakhir pada perceraian di Jakarta. Pada 2014, angkanya meningkat menjadi 7.862 kasus dan pada 2015 sedikit menurun menjadi 7.690. Dari angka itu, kasus KDRT menjadi alasan mengapa pihak perempuan mengajukan gugatan perceraian. "Biasanya yang dilaporkan bukan kejadian yang pertama, melainkan sudah berulang dan dalam jangka waktu yang panjang," jelas Azriana.
Kasus-kasus KDRT, menurutnya, disebabkan konstruksi sosial di masyarakat Indonesia, yaitu hubungan suami istri tidak dilihat dari posisi yang setara. Dengan demikian, tidak selamanya latar belakang pendidikan dan ekonomi menjamin tidak terjadinya KDRT."Kelas sosial enggak berpengaruh, pendidikan juga. Sebenarnya poin tidak terjadinya KDRT ialah suami istri bisa saling menghargai atau tidak," ujarnya.Di sejumlah kelompok masyarakat, lanjut Azriana, masih banyak orang menilai peran gender dalam hubungan rumah tangga secara kaku. Misalnya, suami dianggap sebagai sosok yang harus begitu dihormati, sedangkan posisi istri berada di bawah suami. Hal itu dinilai bisa memicu munculnya tindakan-tindakan yang mencerminkan sikap tidak saling menghargai, seperti kekerasan.

Menahan diri
Dalam berbagai kasus KDRT, ternyata perceraian tidak selalu menjadi jalan keluar. Menurut Azriana, penyebab pasangan tidak memilih bercerai ialah pertimbangan anak dan biasanya perempuan tidak mandiri secara finansial. Konstruksi sosial mengenai posisi suami istri ternyata juga berpengaruh pada timbulnya kasus-kasus perceraian yang disebabkan faktor ekonomi. Sebagai contoh, istri memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada suami sehingga sering kali suami merasa direndahkan. Ketika peran itu berganti, tidak semua suami bisa menerimanya karena konstruksi sosial yang telah terbentuk di masyarakat, terutama pada mereka yang tumbuh di lingkungan patriarki, yaitu pihak laki-laki begitu dipandang sebagai sosok yang lebih tinggi daripada perempuan."Padahal, harusnya di era keterbukaan informasi seperti saat ini, peran-peran gender itu enggak kaku. Kalau istri yang bekerja, bukan berarti suami juga tidak bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga," pungkasnya. Sebelumnya, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan hal senada, yaitu 70% dari total angka perceraian di Jakarta dilayangkan pihak perempuan. Dua hal yang menjadi penyebab utamanya ialah KDRT dan faktor ekonomi. (Nic/J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya