Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

Macet bikin Jakarta Merugi Rp20Triliun, Mau Sampai Kapan?

Putri Anisa Yuliani
02/9/2016 02:15
Macet bikin Jakarta Merugi Rp20Triliun, Mau Sampai Kapan?
(MI/ARYA MANGGALA)

RUDI, 57, benar-benar merasakan kemacetan yang terus merembet hingga jalan-jalan pinggiran Ibu Kota. Ia merasa rugi karena kemacetan kini sudah terjadi saat ia baru keluar dari rumahnya di kawasan Jalan Anggur, Cipete, Jakarta Selatan. Ia rugi waktu dan psike. Waktu untuk bercengkerama bersama anak dan istrinya di pagi hari secara perlahan terus berkurang. Awalnya saat anak-anak masuk taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, ia masih bisa sarapan bersama dan mengantar anaknya ke sekolah. Namun, ketika kemacetan semakin parah, ia harus berangkat hingga 1,5 jam lebih awal agar bisa tiba tepat waktu di kantornya di bilangan Sarinah, Jakarta Pusat.

"Dulu berangkat pukul 7.30, pukul 8.00 itu masih bisa. Sekarang harus berangkat pukul 06.00," tuturnya saat ditemui, beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, kemacetan yang semakin parah sejak 10 tahun terakhir telah membuatnya kehilangan banyak waktu yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk bersama anak-anak, apalagi setelah Dinas Pendidikan DKI menerapkan kebijakan jam masuk anak sekolah menengah atas (SMA) menjadi pukul 06.30. "Bayangkan, anak saya berangkat sekolah pukul 05.00. Saya berangkat 1 jam setelahnya. Kadang kasihan ngeliatnya masih ngantuk sudah berangkat," tuturnya. Sementara itu, dari segi ekonomi, ia harus bersiasat untuk menghemat pos pembelanjaan lain dan menambah alokasi pembelian bahan bakar akibat sering terkena kemacetan.

"Dari segi ekonomi masih bisa diakali, tapi stresnya itu lo. Kadang sengaja pulang lebih malam biar enggak kena macet. Tetapi risikonya, anak istri sudah lelap," keluhnya. Kerugian ekonomi juga dirasakan Esti, 28, warga Meruya, Jakarta Barat. Sejak kemacetan bertambah gawat, ia sering kali dipindahkan berkali-kali oleh awak bus sedang. Penyebabnya, sopir bus enggan mengangkut penumpang hingga ujung trayek jika kemacetan sangat parah. Ia pun harus membayar ongkos hingga dua kali jika ia dioper dari satu bus ke bus lainnya. "Naik Kopaja P16 jurusan Tanah Abang suka dioper-oper. Kenek suka narik ongkos lagi kalau dioper. Rugi kan kita. Kalau naik ojek online bisa lebih cepat, tapi lebih mahal lagi," tuturnya.

Kerugian korporasi
Kepala Bank Indonesia perwakilan DKI Jakarta, Doni P Joewono, mengatakan kerugian ekonomi juga dialami pihak korporasi. Kemacetan dinilai mengurangi laju mobilisasi warga hingga 30%. Kecepatan berkendara di Jakarta pun berkurang hingga rata-rata hanya 14 km/jam. Hal itu didapat dari survei yang dilakukan Bank Indonesia pada periode April hingga Mei 2016. "Laju kecepatan yang berkurang menyebabkan produktivitas terganggu. Hal itu membuat biaya produksi membengkak," kata Doni. Saat ditemui secara terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit, mengatakan kerugian ekonomi yang ditimbulkan kemacetan ialah 3% dari produk domestik bruto (PDB) DKI Jakarta atau sekitar Rp12 triliun setiap tahun. Angka itu belum termasuk kerugian kesehatan yang ditimbulkan.

"PDB DKI itu sekitar Rp 400 triliun, dikali 3% itu Rp12 triliun. Bicara safety cost yang di dalamnya ada kerugian kesehatan itu 2%-3%. Jadi, totalnya 6%, sekitar Rp20 triliun setiap tahun," jelasnya. Danang menjelaskan angka itu meliputi kerugian biaya transportasi, seperti pembelian BBM serta biaya kesehatan yang harus dibayarkan. "Biaya penyakit saluran pernapasan seperti ISPA, asma, kemudian autisme itu ditimbulkan kemacetan," lanjutnya.
Menurut Danang, kerugian yang diderita warga Jakarta bisa terus bertambah jika kondisi transportasi di Ibu Kota masih jauh dari harapan. "Konsumsi bahan bakar kendaraan pribadi jauh lebih tinggi daripada kendaraan umum. Pertaruhannya Pak Ahok itu ialah bagaimana mendorong pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum," jelasnya.

Jika Pemprov DKI menginginkan 60% masyarakat beralih ke transportasi massal seperti yang diharapkan, Danang menegaskan hal itu memerlukan reformasi angkutan umum yang baik. "Waktu itu kami menghitung untuk mencapai target 60% (beralih ke transportasi massal) itu butuh 15 ribu hingga 12 ribu bus baru. Pemprov DKI mengatakan 800 bus baru didatangkan dari Kementerian Perhubungan. Masih jauh jumlahnya," ungkapnya. Selain itu, saat ini baik pemerintah pusat maupun Pemprov DKI memang tengah melakukan pembangunan moda transportasi massal berbasis rel, seperti mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT). Diharapkan, moda transportasi itu bisa mengurangi kepadatan lalu lintas di Ibu Kota. "Kalau itu bisa diatasi dengan baik, saya yakin biaya kerugian yang 3% dari PDB itu bisa dikurangi. Enggak mungkin nol memang. Bisa dikurangi Rp10 triliun per tahun kerugian masyarakat itu sudah bagus banget," tukas Danang. (Mal/Beo/J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya