Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Dilema Tanah Heterogen di Jakarta

Yanurisa Ananta
08/8/2016 03:40
Dilema Tanah Heterogen di Jakarta
(MI/ADAM DWI)

PRESIDEN Joko Widodo dalam rapat terbatas pada 27 April lalu melontarkan kekhawatiran bahwa setengah dari Kota Jakarta akan tenggelam pada 2030. Penyebabnya ialah masuknya air laut (rob) ke sebagian besar wilayah di Jakarta. Salah satu cara menangkalnya ialah dengan menghalangi masuknya air rob dari Teluk Jakarta. Megaproyek Tanggul Raksasa Giant Sea Wall di Teluk Jakarta digadang-gadang menjadi solusi terbaik untuk menahan rob. Karena terintegrasi dengan 17 pulau hasil reklamasi, Giant Sea Wall yang berbentuk burung garuda itu akan membentang 32 kilometer dari barat ke timur dengan tinggi 24,3 meter. Namun, persoalan banjir bukan hanya berasal dari laut/rob. Di waktu yang sama, permukaan tanah Jakarta menurun maksimal 7,5-12 cm dalam setahun. Akibatnya, permukaan tanah Jakarta berubah cekung. Ahli air tanah dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Lambok Hutasoit, mengatakan setidaknya ada empat penyebab penurunan permukaan air tanah, yaitu pengambilan air tanah, pembangunan gedung-gedung, kompaksi alamiah tanah Jakarta, dan gerakan tektonik.

Lambok mengungkapkan kandungan bebatuan di tanah Jakarta masih begitu muda (100 ribu tahun) dan belum padat sehingga penurunan permukaan tanah masih terus terjadi. Sementara itu, tanah membutuhkan waktu jutaan tahun agar benar-benar padat. Kompaksi alamiah tanah Jakarta menjadi penyebab utama, yaitu berkontribusi 50% jika dibandingkan dengan penyebab lain. Kompaksi alamiah itu terjadi pada tanah lempung yang mendominasi kandungan tanah Jakata.

Sudah tenggelam
Lombok mengungkapkan, dari hasil pengeboran pada 2011, tanah kawasan Ciputat didominasi batu pasir. Batu pasir cenderung cepat meloloskan air sehingga lebih cepat padat dan stabil untuk ditekan bangunan. Serupa, kawasan Setu Babakan, Srengseng Sawah, juga masih mengandung batu pasir. Di kawasan Blok M, batuan pasir hanya mendominasi di kedalaman 200 meter dari muka laut (dml). Namun, pada kedalaman 300 meter, tanah banyak mengandung lempung. Hal serupa juga ada di Dukuh Atas. Di Tanjung Priok, hampir seluruh tanah mengandung lempung. Lambok menambahkan aktivitas tektonik turut mempercepat penurunan permukaan tanah. Aktivitas tektonik itu sempat ditemukan di kawasan antara Babakan dan Blok M (selatan ke utara) di kedalaman 200-300 meter. "Itu (aktivitas tektonik) sesuatu yang tidak dapat diubah dan dihindari, tapi bisa diprediksi. Tanah Jakarta sangat heterogen," ujar Lambok. Lambok menolak jika ada anggapan Jakarta akan tenggelam pada 2030. Menurutnya, Jakarta sudah tenggelam saat ini. Ia mencontohkan, di kawasan utara, permukaan air lebih tinggi 2 meter daripada tanah. Jika tanggul dan waduk yang menghalangi masuknya air itu diruntuhkan, ia memprediksi air akan masuk setidaknya hingga kawasan Harmoni, Istana Negara. Jika Great Giant Sea Wall yang memakan biaya Rp450 triliun berfungsi dengan ideal, yaitu mempertimbangkan risiko sedimentasi lumpur dari aliran 13 zona sungai, proyek itu dipastikan akan mengurangi masalah banjir. (J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya