KEDATANGAN sebuah budaya baru ke dalam suatu budaya lama jelas akan berdampak pada terkikisnya budaya lama yang tentunya sudah eksis sejak jauh-jauh hari.
Hal itu pula yang jelas terlihat dari fenomena kedatangan orang-orang Arab ke suatu kawasan di Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kehadiran mereka tentu membawa berkah tersendiri bagi warga lokal. Bagaimana tidak, aroma fulus warga Timur Tengah itu bagaikan oase di tengah gurun.
Warga Puncak, Bogor, biasa memanggil mereka 'orang Arab'. Entah mau datang dari Arab Saudi, Abu Dhabi, Afghanisthan, ataupun Pakistan, dipanggilnya tetap orang Arab.
Kawasan Puncak sudah mulai terpengaruh kuat dengan budaya Arab yang menjadi dominan di sana.
Mirisnya, kehidupan para pribumi atau orang lokal hanya menjadi 'kacung' dan menikmati pekerjaan sebagai sopir, waitress, tukang ojek, pelayan, dan sebagainya.
Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Nia Elvina, mengatakan fenomena Kampung Arab di Puncak merupakan bentuk 'hilangnya' integritas bangsa.
Hal tersebut bisa dengan mudah terjadi, salah satunya karena masih rendahnya tingkat ekonomi di masyarakat kawasan tersebut.
''Sebenarnya kalau tingkat ekonomi suatu negara sudah baik dan mapan, tentu kulturisasi minoritas di atas mayoritas itu sulit terjadi. Namun sayang negara kita fondasi ekonominya kan belum kuat, jadi masih gampang digoyang seperti ini,'' ungkap Nia, Jumat (12/6) malam.
Intervensi budaya
Oleh sebab itu, akibat masih rendahnya tingkat ekonomi masyarakat Indonesia, pihak luar dapat dengan mudah mengintervensi suatu budaya yang sudah lama mengakar di tempat tersebut.
Menurutnya, selain masalah ekonomi, karakter orang Indonesia untuk cinta negeri sendiri juga masih kurang.
''Selain faktor ekonomi, juga ada masalah karakter. Identitas masyarakat Indonesia sekarang ini sebenarnya seperti apa? Masih banyak masyarakat bawah yang belum mengetahui itu, jadi dengan mudah justru mereka yang membuat orang lokal kita beradaptasi terhadap kebudayaan luar,'' sambungnya.
Hal itulah yang membuat orang Indonesia lebih berpikir untuk sekadar bertahan hidup ketimbang memikirkan atau mempertahankan suatu nilai, karakter, dan peradaban bangsa mereka sendiri.
Kepala Urusan Umum Desa Tugu Selatan Nanang Jagur, ketika berbincang dengan Media Indonesia, mengakui kebenaran hal tersebut.
Namun, ia memastikan bahwa pihak desa bersama dengan warga sekitar akan terus berupaya untuk hanya mengambil sisi baik dari budaya yang dibawa oleh orang Arab tersebut.
''Memang, budaya baik dan buruk itu pasti ada jika ada pendatang. Tapi justru bagaimana kita berupaya untuk hanya menyerap budaya baiknya, dan itu yang sudah kita lakukan selama ini,'' ujar Nanang.
Menurut dia, ada hal positif dan negatif yang terjadi dari kedatangan orang Arab di wilayahnya.
Sisi positifnya ialah orang Arab yang memiliki keyakinan agama Islam dan taat beribadah mau menyumbangkan dan menyisihkan sedikit uang mereka untuk membangun tempat ibadah.
''Di tempat kami, sudah ada beberapa masjid yang bisa dibangun atas partisipasi sumbangan mereka. Salah satunya ya itu, Masjid Al-Muqsith yang sedikit dananya berasal dari mereka orang-orang Arab,'' sambung Nanang.
Hal baik lainnya dari kedatangan orang Arab ialah adanya perputaran ekonomi yang cukup signifikan.
Menurutnya, angka pengangguran di desanya terus menurun akibat adanya usaha-usaha yang dibuka untuk memenuhi segala kebutuhan orang Arab.
Tak hanya itu, banyak juga orang lokal atau orang Jakarta atau bahkan orang Arab yang sudah menjadi warga negara Indonesia membuka usaha di Kampung Arab. Dengan demikian, penyerapan tenaga kerja menjadi tinggi.
''Banyak warga lokal yang mencari nafkah di tempat usaha yang menjadikan orang Arab sebagai pasar utama mereka. Seperti rumah makan, biro perjalanan, minimarket, hingga hal-hal yang kecil seperti tukang parkir dan tukang ojek,'' tambah Nanang.
Di balik sisi positifnya, tentu ada sisi negatif dari budaya yang dibawa oleh orang Arab ke Indonesia, khususnya di kawasan Puncak yang menjadi pusat singgah dan tinggal mereka di Indonesia. Yang paling utama ialah masalah penggunaan bahasa.
Memang di sepanjang Kampung Arab, sangat jarang ditemukan orang Arab yang bisa berbahasa Indonesia atau bahkan berbahasa Inggris.
Justru sebaliknya, warga lokallah yang berbondong-bondong belajar bahasa Arab untuk bisa berkomunikasi dengan mereka.
''Memang kalau masalah itu ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya banyak orang lokal kita yang jago bahasa Arab. Tapi sisi buruknya ya itu, mereka (orang Arab) seakan tidak menghargai bahasa dan budaya kita dengan berkomunikasi tetap menggunakan bahasa sendiri,'' pungkasnya.