Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
'Sampang simping
Temu dalem selampe
Sape tuh di samping?
Tetamu baru nyampe'.
DEMIKIAN kutipan dialog seniman Betawi, Bokir, dalam kesenian lakon si jantuk. Istilah yang digunakan dalam kutipan itu mungkin bagi sebagian masyarakat Jakarta, khususnya warga Betawi asli, tidak akrab di telinga. Kosakata atau istilah-istilah dalam bahasa Betawi itu kian luntur dan jarang terdengar, karena ditinggalkan oleh masyarakat Betawi asli sendiri. Di wilayah Rawa Belong, Jakarta Barat, misalnya. Kampung yang konon disebut sebagai tempat asal legenda Betawi Si Pitung itu saat ini masih banyak dihuni warga etnis Betawi. Namun, ketika menyusuri berbagai sudut kampung itu, sulit ditemukan dialek Betawi antarwarga. Bahkan, dalam satu keluarga pun, tidak banyak terdengar tuturan bahasa Betawi. "Pernah satu hari saya bilang ke keponakan yang umurnya 17 tahun, 'Tong (nak) mindo (makan lagi atau tambah makan) gih. Masih ada tuh sayur di gerobok (lemari makan)'. Dia jawab, 'ngomong apa sih Om?'. Saya langsung geleng-geleng. Anak sekarang banyak yang enggak paham," kata Amirudin, 45, warga Betawi asli di Kampung Sukabumi Ilir, Rawa Belong.
Ia menyesal, karena tidak membiasakan tuturan bahasa Betawi di keluarga dalam percakapan sehari-hari. Ia khawatir generasi penerus warga Betawi di lingkungannya, khususnya keluarga, tidak mengenal istilah bahasa Betawi. Secara terpisah, Ahmad Niam, 25, remaja asli Betawi di wilayah Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat, pun mengaku tidak banyak tahu istilah bahasa Betawi lantaran di lingkungan keluarganya tidak terbiasa bertutur bahasa Betawi dalam percakapan sehari-hari. "Yang familier saja saya tahunya. Seperti encang, encing, enyak, babeh. Yang lainnya memang enggak tahu, karena sehari-hari enggak ngomong pakai bahasa Betawi," ujarnya. Kawasan perkampungan budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan, juga sudah kehilangan para penutur bahasa Betawi atau biasa disebut bahasa 'Emak Kite'.
Warga setempat lebih banyak sekadar menggunakan logat Betawi. Anggota Bidang Pengkajian dan Pengembangan Forum Pengkajian Perkampungan Betawi Setu Babakan Yahya Andi Saputra memperkirakan hanya setengah dari total masyarakat yang bermukim di kawasan Setu Babakan menggunakan bahasa Betawi. "Tapi itu juga sudah bercampur bahasanya," tuturnya.
Pengenalan lagi
Saat melihat fenomena itu, Atien Kisam, seniman sekaligus tokoh Betawi, berpendapat keluarga merupakan tempat pengenalan dan pembiasaan bertutur bahasa Betawi.
"Hilangnya bahasa Betawi dimulai dari keluarga. Kalau bapak dan ibunya enggak menggunakan, (bahasa Betawi) akan hilang dengan sendirinya. Di sekolah kan belum masuk kurikulum juga. Jadi dari keluargalah itu dilestarikan," kata Atien. Saat ini, ia ikut berpartisipasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperkenalkan bahasa Betawi ke satu forum yang pesertanya merupakan keluarga-keluarga Betawi. "Ada upaya mengenalkan kembali (bahasa Betawi). Belum lama di Condet, Jakarta Timur, dilakukan. Pesertanya terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Mereka berkumpul dan mengobrol dengan menggunakan bahasa Betawi," ujarnya.
Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa Sugiyono mengatakan pemerintah terus berupaya untuk melestarikan bahasa daerah, termasuk Betawi. Menurut dia, ada dua hal yang dilakukan sejak 2010, yakni melalui program konservasi dan revitalisasi bahasa daerah. "Revitalisasi bahasa Betawi sudah dilaksanakan dua kali di Setu Babakan dan di Condet. Hasilnya memuaskan," kata Mugiyono. Sementara itu, Muhajir, ahli dialektika bahasa Betawi, mengatakan sudah tidak menemukan lagi daerah yang masih memiliki tuturan bahasa Betawi yang kental dalam dialog sehari-hari. "Sekarang sudah tidak ada lagi daerah yang kental (dialek bahasa Betawi). Seperti di daerah Tanah Abang yang dulu dikenal kental pun saat ini tidak terasa lagi," kata Muhajir saat ditemui Media Indonesia.
Demikian juga di wilayah lain yang masih kerap menggunakan tutur bahasa Betawi dalam keseharian, yakni daerah pinggiran Jakarta atau biasa dikenal dengan sebutan Betawi Ora, seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor. "Teori kebudayaan kan begitu. Wilayah pusat lebih cepat bergerak ketimbang pinggiran, yang pinggir makin tenang." Budayawan Bekasi Ali Anwar mengatakan yang terjadi pada masyarakat Betawi di Jakarta saat ini dikhawatirkan akan terjadi pula di masyarakat Betawi pinggiran seperti Bekasi. "Kalau dulu perubahan dalam hitungan tahun. Kalau sekarang bisa hitungan bulan bahkan hari. Mereka mencampuradukkan bahasa-bahasa menjadi satu karakter sendiri," tuturnya. (Nel/J-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved