Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
MAKIN terbatasnya luas lahan di Jakarta membuat bisnis hunian berkonsep town house bak cendawan di musim penghujan.
Di Bekasi, Jawa Barat, pembangunan hunian yang hanya diisi 10-20 rumah itu dituding sudah mulai tak terkendali.
"Anda lihat sendiri, ada lahan kosong sedikit, langsung dibangun town house. Kalau dibiarkan tak terkendali, ini akan menjadi masalah di kemudian hari," kata anggota Badan Legislasi DPRD Kota Bekasi Ariyanto Hendrata, beberapa waktu lalu.
Pernyataannya itu bukan tanpa alasan.
Ia mencontohkan pengembang hunian yang cenderung tidak menyediakan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) bagi penghuninya.
Infrastruktur pun diabaikan sehingga baik penghuni maupun warga sekitar dirugikan.
Fitri Fajri, 27, salah seorang penghuni town house di Jatiluhur, Jatiasih,
Kota Bekasi, mengungkapkan kekesalannya.
Sejak pindah ke hunian itu dua tahun lalu, tak tersedia sama sekali fasum dan fasos buat warga.
Hanya ada sebidang jalan paving block yang digunakan bersama oleh 15 unit rumah di hunian tersebut.
Lebar jalannya mengikuti konsep rumahnya: minimalis.
"Jalan itu cuma cukup dilewati satu mobil dan satu sepeda motor. Jadi kalau kebetulan ada dua mobil yang akan berpapasan, salah satu harus mengalah," terang Fitri.
Sepotong jalan dengan panjang 80 meter itu menjadi akses penghubung hunian dengan jalan lingkungan.
Jalan itu diapit oleh jejeran rumah tipe 36 yang berhadapan.
"Tidak cuma jalan, gotnya juga minim. Lebarnya 20 cm dan kedalaman 30 cm. Tidak perlu menunggu hujan, buangan air rumah tangga saja sudah bikin got penuh," gerutunya.
Kekesalan senada juga diluapkan Novi, tetangga Fitri.
Ibu muda itu mengaku kesal karena dua anaknya yang masih SD tak punya tempat untuk bermain di luar rumah.
"Kalau ke luar kompleks, banyak kendaraan yang lewat. Kalau di dalam kompleks, ya cuma segini ini luasnya. Terkadang jadi kasihan sama anak-anak," ujarnya.
Menjengkelkan
Sejatinya, tak cuma penghuni town house yang mengeluhkan ketiadaan fasum dan fasos.
Warga sekitar pun merasa terganggu dengan keberadaan town house yang tak punya fasilitas lengkap.
Wawan, salah satu warga di sekitar town house yang dihuni Fitri dan Novi, mengatakan akses jalan para penghuni menuju gerbang permukiman mereka menumpang dengan akses jalan lingkungan yang telah ada.
Akibatnya, beban jalan warga pun bertambah.
"Sebelum ada town house itu, jalan di sini sudah cukup padat. Sekarang jadi tambah padat karena setiap rumah di sana punya mobil. Kalau pagi, mobil para penghuninya sudah antre untuk keluar gerbang," terang Wawan.
Namun, lanjut Wawan, hal yang paling menjengkelkan ialah ketika warga perumahan tersebut sedang menyelenggarakan acara, sebab jalan perumahan dibuat pengembang hanya bisa dilalui satu lajur kendaraan.
Sementara itu, di luar gerbang perumahan tak ada lahan kosong sebagai tempat parkir mobil.
Alhasil, jalan lingkungan yang ada kerap dipakai untuk tempat parkir.
"Kalau mereka lagi ada arisan atau hajatan, tamunya pada susah parkir di dalam sehingga parkir di sepanjang jalan lingkungan. Ya, jadi macetlah. Lama-lama bisa ada gesekan antarwarga nih cuma gara-gara jalan," ujar Wawan.
Untungnya, sambung dia, sejauh ini toleransi antarwarga di lingkungan itu cukup baik.
Warga di luar town house bukannya tak punya keluhan, tapi sejauh ini lebih memilih menyimpannya di dalam hati.
"Tapi ini harus secepatnya dicarikan solusi. Jangan sampai menunggu bom waktu meledak meski sumbunya masih panjang," ujarnya. (J-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved