Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
PENGAMAT dari Human Right Watch Andreas Harsono berpandangan rencana pengambilalihan pengelolaan air dari pihak swasta terancam gagal. Saat ini, terdapat dua perusahaan swasta yang mengelola air di Jakarta sejak 1998 yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.
Ia melihat adanya kejanggalan di belakang jual beli perusahaan swasta tersebut. Enam tahun jelang kontrak pengelolaan air habis pada 2023 saham kedua perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan asal Singapura pada 2017.
Baca juga: Pemprov DKI Jakarta Dinilai tak Serius Putuskan Privatisasi Air
Padahal dalam waktu yang hampir bersamaan, keputusan Mahkamah Agung atas kasasi keputusan gugatan 'citizen law suit' keluar dan memerintahkan penghentian privatisasi air.
"Logikanya, mana ada orang mau beli perusahaan yang kontraknya mau habis? Apalagi nilainya triliunan. Mereka bukan orang bodoh mau beli perusahaan yang kontraknya akan habis. Pasti mereka percaya kontrak akan diperpanjang," ungkap Andreas dalam konferensi pers bertema Menagih Janji Mengambil Alih Pengelolaan Air Jakarta di kantor Rujak Center di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (3/4).
Sebelumnya, 49% saham Palyja dimiliki oleh Astratel yang merupakan anak perusahaan PT Astra Internasional milik Salim Grup. Sementara 51% saham lainnya dimiliki oleh Suez Environment asal Prancis.
Salim Grup kemudian menjual keseluruhan sahamnya kepada PT Mulia Semesta Abadi. Sementara, Suez Environtment menjual 51% saham Palyja kepada perusahaan di Singapura, Future Water Ltd.
Sementara itu, Aetra yang semula dimiliki Sandiaga Uno berpindah kepemilikan ke Grup Salim melalui Moya Indonesia Holdings Pte Ltd.
Andreas pun mengatakan pihak yang seharusnya ditanyai saat ini ialah Sandiaga Uno. Sebab, nilai penjualan saham Aetra diduga tidak wajar. Aetra yang memiliki cakupan perpipaan lebih sedikit dibanding Palyja justru dibeli dengan nilai hampir dua kali lipat Palyja yakni US$ 92,87 juta.
"Meskipun waktu itu Sandiaga mengatakan tidak mau punya konflik kepentingan yang harus disoroti adalah nilainya. Kenapa nilainya besar hampir dua kali Palyja padahal cakupan lebih sedikit dan kinerja yang sama buruknya," ungkapnya.
Ia pun berharap adanya latar belakang ini tidak menyurutkan semangat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam mengambil alih pengelolaan air.
Baca juga: Stop Privatisasi Air, Pemprov DKI Harus Libatkan KPK
Sebab, dirinya yakin PAM Jaya bisa mengelola air dengan baik asal mendapat dukungan penuh dari Pemprov DKI.
"Dengan segala kerumitan ini memang butuh keberanian moral Pemprov dengan gubernur untuk mengeksekusi. Bukan hanya rencana, rencana, dan rencana. Buat apa susun rencana matang tapi tidak dieksekusi. Mengelola air juga buka hal sulit, ini bukan seperti menerbangkan orang ke bulan," tukasnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved