Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
PERINGATAN itu dilontarkan Agus Dwi Susanto, Ketua Departemen Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pekan lalu. Menurut dia, polusi udara di perkotaan menjadi salah satu faktor terjadinya penyakit kanker paru.
"Sekitar 3%-5% penderita kanker paru berhubungan dengan polusi udara. Kanker paru terjadi jika polusi udara terakumulasi di tubuh secara terus-menerus dalam jangka panjang," papar Agus.
Ia juga mengutip hasil penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada 2013 lalu. Dari 300 penderita kanker paru, 4%-nya diduga disebabkan oleh polusi udara.
Bahaya polusi udara ini juga membuat Bondan Andriyanu menilai Pemprov DKI Jakarta kurang aktif memberikan informasi terkait kondisi udara di Ibu Kota. Akibatnya, warga menjadi kurang peduli terhadap kualitas udara.
"Data Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, tahun lalu, menyebutkan indeks partikulan debu melayang mencapai 34,2 mikrogram per meter kubik (ug/M3) udara. Ini sangat buruk karena baku mutu yang ditetapkan Kementerian LHK hanya 15 ug/M3," tutur Pengampanye Polusi Udara Greenpeace itu saat berbicara dalam diskusi santai polusi udara di Jakata, kemarin.
Ia mengingatkan polusi udara terjadi karena paparan gas karbondioksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida. Ketiga jenis gas itu tidak baik bagi tubuh jika dihirup.
Soal solusi, tandasnya, ada dua hal yang harus ditekankan. Pertama, adanya pengakuan dari pemerintah kalau udara di Jakarta mengkhawatirkan.
Informasi itu akan membuat masyarakat sadar terhadap kualitas udara yang mereka dapatkan.
"Yang kedua tumbuh kesadaran dari masyarakat untuk mulai hidup sehat, seperti menghilangkan asap rokok. Selain itu juga mengurangi penggunaan transportasi pribadi dan beralih ke moda transportasi publik," ujar Bondan.
Tidak sehat
Dia mendesak Pemprov DKI mengakui bahwa kondisi udara di wilayahnya tidak sehat. Ini kondisi yang mengkhawatirkan dan bukan sedang-sedang saja.
Greenpeace sebagai NGO, tambahnya, mengimbau masyarakat untuk menggunakan masker N95 saat berada di luar ruangan. Masker jenis itu mampu memfilter polusi udara hingga 90%.
"Di dalam ruangan, kami menganjurkan masyarakat menggunakan air purifier untuk menjernihkan udara. Alasannya, udara buruk di luar ruangan dapat masuk ke ruangan," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ade Imasanti, dokter spesialis paru, memaparkan partikel debu yang membuat polusi udara di Jakarta bentuknya sangat kecil. "Sebesar satu helai rambut dibelah menjadi 30 bagian."
Partikel debu, lanjutnya, berasal dari asap kendaraan bermotor, asap rokok, hingga asap dari memasak. Jika dihirup, partikel itu masuk ke tenggorokan, paru, yang mengendap di paru.
"Dalam jangka panjang dampaknya bisa terasa hingga puluhan tahun. Penyakit yang ditimbulkan di antaranya sesak napas, asma, kanker, dan stroke," tandasnya.
Jakarta memang bukan kota ideal terkait kualitas udaranya. Tahun lalu, udara Ibu Kota menduduki peringkat pertama terburuk di Asia Tenggara. (Ant/J-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved